Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2018

Para Cecunguk yang Mengubah Dunia

Mer, membaca tulisanmu hari ini, membuat aku lagi-lagi tak bisa menahan haru. Air mataku bercucuran serupa hujan yang tak reda-reda. Bagaimana dirimu bisa memikirkan hal yang sama?  Padahal kita tak pernah membicarakan hal ini sebelumnya. Tidak di telpon, wa ataupun fb. Asal aku tahu, setelah membeli buku dan membaca buku Pemimpin Cinta dan Sekolah Cinta, aku selalu dipenuhi rasa haru yang begitu indah. Rasa haru itu bagai pelangi yang terdiri dari berbagai warna perasaan yang hadir, semangat, cinta, rindu, iman, islam, kehangatan, teladan dan banyak hal lagi yang rasanya tidak bisa terdeskripsi lewat tulisan. Dalam satu bab buku Pemimpin Cinta, Ayahanda Edi bercerita, tentang kepekaan beliau terhadap staf dan guru perempuan di Athirah. Beliau menghitung dengan detail jumlah perempuan yang sedang mengandung, baru saja menikah dan akan menikah. Lalu kemudian merasa sangat bersalah karena pekerjaan di Athirah berpotensi memisahkan seorang ibu dan anaknya. Para perempuan

Desain Peradaban dan Indikator Kekayaan

Hei Dear, bagaimana kabarmu? Apakah kau sudah kaya? Akh, kau juga membuatku ngakak. Tapi mari aku memulai balasan tulisanmu dengan membahas kekayaan, yang tentu saja tidak ada lagi hubungannya dengan Agustus. Kaya untukku, eh bukan untuk kita. Yah, tentang indikator kaya ini, aku yakin kita memiliki persepsi yang sama. Apakah aku kaya? Aku merasa kaya Mer, tentu dengan indikator-indikator berbeda, bukan dengan ukuran seberapa banyak materi yang kita punya. Sudah berapa mobil yang kita miliki, berapa jumlah deposito yang kita miliki, sudah berapa banyak bonus bulanan yang kita dapatkan. Bukan, menurutku kekayaan adalah kebebasan kita untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Kebebasan untuk mengembangkan karir, membangun desain peradaban yang pernah aku katakan padamu. Jujur saja, aku sudah terlalu jengah untuk mengurusi tetek bengek politik di negeri ini. Membicarakan dunia politik di alam demokrasi membuatku seakan ingin muntah, lalu terbaring tidak berdaya. T

Tanpa Suara

Hukuman paling telak adalah diam Jiwa terasa tercerabut Semangat melayang entah ke mana Jika kau masih diam Maka kelak kau akan menjumpainya Diam selamanya Karena dia telah mati bersama kata-kata terakhirmu

Seni Memafkan

Kenapa tidak memberi maaf? Bukankah memberi maaf adalah membuka hati Membuka hati dan menerima kelalaian-kelalaian Bahkan kesalahan dan kehilafan orang lain Bahwa kesalahan orang lain yang hadir padamu, juga merupakan kelalaianmu sendiri Jauh dari itu kesalahan orang lain padamu adalah sebuah ujian. Sejauh mana kau bisa bertahan. Kau mampu memaafkan apapun, karena dengan memafkan orang lain sesungguhnya kau memaafkan dirimu sendiri, menerima kesalahanmu sendiri.  Sungguh tak elok menimpakan semua kesalahan pada orang lain, tanpa berkaca pada diri.  Kau, yakinkah memiliki hati seluas samudra yang dapat menampung maaf yang lebih besar. Memberi maaf, tidak hanya dengan melepaskan.  Selanjutnya, maaf harus kita kawal agar kita tidak jatuh pada kesalahan-kesalahan selanjutnya.  Dan kita tak perlu lagi menerima kesalahan-kesalahan yang sama, membiarkan orang lain melakukan kesalahan  yang itu-itu saja. Yah, sesunggunya langkah awal dar