
aku ingat jarak itu, hanya dipisahkan oleh sebuah tembok. Kini jarak itu pun bertambah seiring waktu, tak pernah terdefenisikan tapi mengandung sebuah makna. Yah, kita berdua mencoba mendefenisikannya mungkin bukan lewat sebuah kata. Bukankah segala sesuatunya menarik bagaikan besi dengan medan magnetnya. Kuat. Tapi tentu saja kita mengerti jarak masing-masing, ketika kau maju maka aku akan mundur, sebaliknya jika aku menatap kau akan menunduk. Bukankah jarak mendefenisikan dirinya sendiri, sehingga kita tak usah berdefenisi. Lalu, aku dan kau yakin masih saling menjaga kesetiaan diantara jarak-jarak yang tak terdefenisi. Bukan kau setia untuk diriku atau aku yang setia untuk dirimu, bukan untuk siapa-siapa untuk kesetiaan kita sendiri, bukankah kita sudah tahu bila tak perlu ada defenisi. Jika kau dan aku mencoba mendefenisikannya maka jarak akan berubah menjadi batas tak berujung. Setiakah kau? tak pernah ada tanya, hanya ada tatapan mata bening yang terlihat di angkasa bahwa kau masih setia. Hingga suatu saatpun akan ada kertas indah bertuliskan namanya dan namaku, ataupun namamu dan namanya. Tidak peduli siapa yang akan mendahului aku atau kau, aku yakin mengembang sebuah senyum tanpa derita. Karena kau dan aku masih akan tetap setia.
Bukankah begitu?
Komentar