Oia, apakah kamu melihat dua bocah yang yang memeluk hujan,
mereka berjalan beriringan. Satu di antara mereka sangat usil, jahil, nakal.
Ditariknya dahan pohon yang masih berada dalam jangkauannya. Byar... si bocah
perempuan basah. Si jaihl lari, mereka saling mengejar. Lalu, saat saling
mendapatkan, mereka lalu tertawa, lepas. Senang sekali.
Aku melewati koridor kampus, ingin melihat hujan lebih dekat.
Sesekali aku menadahkan tangan merasakan gerimis membasahi pori-pori tangan.
Aku sampai pada ujung koridor. Aku harus berlari menuju ke gedung sebelah.
Jalanannya menurun, koridor yang mempertemukan fakultas kita. Satu, dua,
tiga, aku berlari, tapi setengah hati, jujur kunikmati juga hujan itu. Huft,
tapi aku masih harus menuju gedung selanjutnya, jaraknya agak jauh. Di samping
danau. Tak perlu berlari lagi, hujannya mereda, menjelma gerimis. Aku
pelan-pelan, menengadahkan wajah ke langit membiarkan hujan membelai wajah.
Aku melangkah, berlari, kadang berjinjit, bermain dengan
genangan hujan yang berserakan di sana sini. Kuangkat ujung jilbabku, takut
basah. Tapi terlambat sebagian telah basah. Hei, hujan kembali melebat, aku
berlari, wah... Aku pasrah, pasti aku akan kuyub. Tiba-tiba seorang gadis kecil
berlari mendekat. Bukan lagi menawarkan payung. Dia langsung menaruh payungnya
tepat di atasku. Entah dari mana asalnya,
Masih bengong melihat wajah manis sang gadis. Si anak
menggoyang-goyangkan payung. Membuyarkan kebengonganku. Aku sadar, lalu menarik
si gadis kecil masuk ke dalam payung bersama. Tapi si gadis kecil, sudah
terlanjur basah.
Sepuluh langkah berlalu, Siapa nama kamu?
Gadis kecil menggeleng. Keningku berkerut.
"Kamu basah, memangnya kalau kamu main hujan-hujan
begini, kepala kamu tidak sakit?
Kembali menggeleng. Masih tanpa suara, tapi senyum dibibirnya
masih tersungging.
Hem, kamu ngak mau ngomomg yah?
Kembali menggeleng.
Kamu suka hujan?
Akhirnya dia mengangguk.
Belum juga pertanyaanku usai. Gedung Ipteks telah
terlihat.
Ok, makasih yah, kataku sambil meregoh uang seribuan dari
kantongku.
Sang gadis kecil kembali menggeleng. Dia lalu mengambil
bungkusan di dalam bajunya. Menyerahkannya padaku. Selagi aku terbengong
melihat bungkusan itu. Si gadis kecil sudah pergi. Menghilang dalam lebatnya
hujan.
Aku membolak balik bungkusan plastik yang kuyub itu. Membuka
bungkusannya, ternyata sebuah buku "The Alchemist". Lagi, keningku
berkerut untuk kesekian kalinya. Ku buka lembar pertama, kutemui sebuah tulisan
di sana.
"Simpan baik-baik buku ini, dan suatu hari nanti ketika
kita bertemu kau harus menceritakannya kepadaku." :-)
Lalu di ujung buku masih ada,
" Teruslah melukis pelangi dengan untaian katamu, wahai
sang pelangi kata"
Terperanjat, aneh. Aku ingat, buku ini adalah buku terakhir
yang ingin aku beli. Waktu itu aku berkeliling di sebuah toko buku tidak jauh
dari kampus kita untuk mencarinya, tapi bukunya kosong.
Untuk apa? Hei, tiba-tiba aku teringat Rasulullah SAW, harus,
aku harus selalu ingat. Jika tidak, kerugian besar menantiku.
Ini adalah sebuah cerita indah antara Salman Al Farisi RA dan
Rasulullah SAW, sebuah cerita yang menggetarkan jiwa. Ahk, mana ada kisah
tentang Rasulullah SAW yang tidak menggetarkan jiwa. Jika jiwamu belum
bergetar, kau belum mengenali beliau.
Ini tentang sebuah pencarian tuhan yang luar biasa.
Aku pernah berjanji menceritakannya bukan? Kupikir ini saat
yang tepat.
Untuk permulaan, akan kuperkenalkan kau terlebih dahulu
dengan Salman Al-Farisi RA beliau adalah seorang pemuda bangsawan, kaya raya,
putra kesayangan. Namun dia menjelajah, mencari kebenaran. Hingga Allah
mengatur takdir membawa beliau bertemu Rasulullah SAW.
Dia sedang berada di puncak pohon kurma, bekerja untuk majikannya,
dan pada saat yang sama didengarnya seseorang berujar tentang kedatangan
seseorang yang mengaku Nabi demi Allah. Hampir saja Salman Al-Farisi RA terjatuh
karena gemetaran tubuhnya mendengar berita tersebut. Mendengar kedatangan nabi
terakhir yang selama ini dicarinya. Maka untuk membunuh rasa penasarannya, ia
kemudian menemui nabi itu. Ingin membuktikan tanda-tanda kenabian yang telah
diketahuinya dari seseorang yang dapat dipercaya.
Saat matahari hendak meninggalkan peraduannya, Salman
Al-Farisi RA segera mengumpulkan apa pun yang dimilikinya, lalu pergi menemui
Rasulullah di Quba. Saat Salman Al-Farisi RA tiba, Rasulullah sedang duduk
dengan rombongannya. Salman Al-Farisi berujar “Tuan-tuan
adalah perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku mempunyai persediaan
makanan yang telah kujanjikan untuk sedeqah. Dan setelah mendengar keadaan
tuan-tuan, maka menurut hematku, tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya, dan
makanan itu kubawa ke sini”.
“Makanlah dengan nama Allah”.
sabda Rasulullah SAW kepada para shahabatnya, tetapi beliau tak sedikit pun
mengulurkan tangannya menjamah makanan itu. “Nah, demi Allah!” katanya dalam
hati, satu dari tanda-tanda kenabian telah terbukti.Dengan segera Salman pulang, namun lebih segera
kembali keesokan harinya, berlomba dengan mentari pagi. Salman kembali
Rasulullah SAW sambil membawa makanan, dan berkata kepada-Nya: “Kulihat tuan
tak hendak makan sedeqah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang ingin kuserahkan
kepada tuan sebagai hadiah”, Lalu Salman Al-Farisi RA menaruh makanan di
hadapan Rasulullah. Maka sabdanya kepada shahabatnya: ‘Makanlah dengan menyebut
nama Allah !’ Dan Beliaupun turut makan bersama mereka. “Demi Allah’: katanya dalam
hati, inilah tanda yang kedua, bahwa nabi bersedia menerima hadiah
Jelas bukan, Rasulullah hanya
menerima hadiah, bukan sedekah. Jadi, buku itu hadiah atau sedekah? Semoga Buku
darimu itu hadiah, biar aku bisa menerimanya dengan tenang.
Baiklah aku masih ingin melanjutkan ceritanya, walau pun
mungkin kau sudah tidak mau mendengarnya. Tapi semoga aku salah dan kau masih
menikmati ceritanya.
Tau kah kau, bagaimana Salman Al-Farisi yang berasal dari
Persia tiba di Madinah menemukan kebahagiaannya, menemukan apa yang dicarinya.
Bagaimana perjalannannya yang panjang dan sangat berliku, yah, sahabat-sahabat
Rasullah memang punya kisah yang begitu mengharu biru. Dan tentunya ini
bukanlah sebuah dongeng pengantar tidur. Ini kenyataan. Tinta hitam para ulama
telah mencatatnya, sejarah mengabadikannya.
Persia nama negerinya, penduduknya beragama majusi, menyembah
api. Dan karena, kealiman Salman Al-Farisi, dia dipercaya menjadi penjaga api,
menjaga agar cahayanya terus menyala dan tidak pernah padam. Sampai suatu hari
ayahnya yang merupakan seorang bupati menyuruhnya ke suatu daerah. Di sana, ia
melewati sebuah gereja di mana kaum nasrani sedang sembahyang. Karena rasa keingintahuannya
yang besar, Salman Al-Farisi lalu melihat, dan kagum, saat itu dalam hatinya mengakui dengan objektif bahwa agama nasrani jauh lebih bagus.
Pengakuanya pada ayahnya tentang apa yang dilihatnya membuat
Salman Al-Farisi berakhir dengan dirantai oleh ayahnya. Namun ia tidak
menyerah, dia menitipkan pesan ada orang Nasrani tentang keimanannya yang baru
dan memohon untuk menjemputnya. Dan takdir membawanya, ia tinggal dengan uskup
dan mengabdi menjadi pelayan. Namun saat ajal uskup sudah dekat. Salman
bertanya ke mana ia harus pergi, sang Uskup merekomendasikan seseorang yang
tinggal di mosul. Lalu Salman Al-Farisi kemudian mencarinya. Begitu seterusnya,
sampai uskup yang dia datangi dipenghujung ajalnya Salman Al-Farisi kembali
bertanya, ke mana ia harus pergi. Hingga ia tiba di Romawi, dan bertemu kembali
seseorang yang kembali menuntunya menemui Rasulullah. Pada saat uskup yang
terakhir hendak meninggal, lagi-lagi Salman Al-Farisi bertanya hal yang sama,
ke mana dia harus belajar.
Uskup itu menyampaikan kalimat terakhirnya “Anakku.’ Tak seorang pun yang kukenal serupa dengan
kita keadaannya dan dapat kupercayakan engkau padanya. Tetapi sekarang telah
dekat datangnya masa kebangkitan seorang Nabi yang mengikuti agama Ibrahim
secara murni. la nanti akan hijrah he suatu tempat yang ditumbuhi kurma dan
terletak di antara dua bidang tanah berbatu-batu hitam. Seandainya kamu dapat
pergi ke sana, temuilah dia, la mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang:
ia tidak mau makan shadaqah, sebaliknya bersedia menerima hadiah dan di
pundaknya ada cap kenabian yang bila kau melihatnya, segeralah kau
mengenalinya’
Dan Salman Al-Farisi kembali
berjalan, menjawab rasa penasarannya, hingga pada saat ingin menuju Arab, sayang di tengah jalan dia
dirampok dan dijual sebagai budak. Tapi Allah, maha penolong dan semuanya memiliki hikmah, itu adalah jalan yang
mempertemukannya dengan Rasulullah. Saat di pohon kurma itulah, Salman
Al-Farisi mendengar berita, membuktikan secara langsung satu persatu tanda
kenabian Rasulullh SAW, pun tanda terakhir berupa tanda kenabian di punggung
Rasulullah SAW. Seketika ia meratap, menangis dan segera memeluk serta menciumi
Rasulullah, pencariannya menemukan muara.
Kau pernah bertanya padaku tentang keragu-raguanmu tentang
tuhan sehingga aku kesal. Maaf yah. Kau tahu, terlalu banyak yang harus dipikirkan dan dilakukan. Ideologi
ini membakarku, lalu sekaligus memenjarakanku dengan kelembutan, mengalihkan duniaku, juga menutar balikkan hidupku 180 derajat. Em, kau pasti bingung. Bayangkan saja sendiri. Walaupun apa yang kau bayangkan tidak akan pernah sama dengan apa yang kurasakan. Andai saja kau tahu apa yang aku tahu. Aku mencoba dan menjadi buta untuk
hal-hal yang tidak begitu penting, di saat yang sama aku dapat melihat hal-hal
yang orang lain tak mampu melihatnya. Kau tahu, yang ada dalam pikiranku saat
ini adalah memberikan gambaran utuh tentang seluruh konsep yang saat ini beterbangan dalam kepalaku serta tentang keyakinan yang menghujam dalam hatiku. Konsep yang menurut mereka utopis. Tapi tidak ini kenyataan, seperti keberadaan diriku dan dirimu.
Ini sepotong kisah tentang keraguan Salman Al-Farisi yang kuceritakan padamu. Dia tak hanya terus ragu, tapi mencari pangkal keraguuannya. Bukan dengan dialog semalam suntuk yang akan membuatmu tidak shalat Subuh esok harinya. Semoga bukan.
Oia, Semoaga suatu hari kutemukan kau dengan keyakinanmu yang membara, bukan lagi di bawah hujan, tapi di bawah terik matahari bersama dengan teman-teman lain mengabarkan konsepsi dari langit.
Ini sepotong kisah tentang keraguan Salman Al-Farisi yang kuceritakan padamu. Dia tak hanya terus ragu, tapi mencari pangkal keraguuannya. Bukan dengan dialog semalam suntuk yang akan membuatmu tidak shalat Subuh esok harinya. Semoga bukan.
Oia, Semoaga suatu hari kutemukan kau dengan keyakinanmu yang membara, bukan lagi di bawah hujan, tapi di bawah terik matahari bersama dengan teman-teman lain mengabarkan konsepsi dari langit.
Satu lagi, maaf lagi, aku tidak pernah berjanji dan berutang untuk menceritakan buku
itu padamu, dihadapanmu. Mana mungkin, sebagai gantinya telah kuceritakan kisah
Salman Al-Farisi, jika kau tanya kenapa. Aku yakin kau tahu jawabannya,
bukankah kita orang faham, kuharap demikian.
"Chara, kenapa bengong saja di situ. Liqonya sudah mulai dari tadi."
Makassar, 11 Januari 2012
Makassar, 11 Januari 2012
Komentar
salam kenal dari peserta TOWR asal Pinrang, helmi anwar