Kau tak perlu menulis puisi yang menembus awan, karena pada akhirnya aku hanya dapat melihatnya dari jauh saja
Kau juga tidak perlu menulis namaku di atas pasir, karena dia akan terhapus kala air laut datang menerjang
Kau tak perlu menulis nama kita berudua pada batu, atau pada pohon, apa lagi pada situs sejarah, karena hanya akan merusak pemandangan dan aku akan marah
Tak perlu kau menggambar wajahku pada embun yang melekat pada kaca, karena itu akan menguap, lalu menghilang.
Tak usah pula kau mengabadikannya lewat lagu,
Karena
Semua yang kau lakukan sudah cukup memberitahuku, kau akan seperti itu selamanya bukan?
Sejak kau telah menyebut namaku lantang saat akad nikah kita
Dan saat itu kau telah mengkristalkan sebuah puisi di hatiku dengan ikatan yang paling kokoh.
Dan aku akan menanti kisah-kisah kita pada deretan cerita di hati
Bagi kami sekeluarga berobat ke dokter dan dirawat inap di rumah sakit adalah pilihan terakhir. Ibu saya pernah mengalami trauma pasca kematian adik saya. Usianya baru tiga bulan saat itu, Amal, nama almarhum demam tinggi dan sangat rewel, situasi yang tidak biasa karena biasanya Almarhum adalah bayi yang tidak rewel. Saat itu, Ibu akhirnya memutuskan untuk membawa adik saya ke rumah sakit, setelah dirawat inap tiga hari. Amal meninggal. Saya lupa apa penyebab kematiannya, usia saya saat itu masih tiga tahun, tapi konon saat itu adik saya mengalami mal praktek. Selepas kejadian tersebut, Ibu akhirnya sangat trauma. Bahkan saat saya sakit tipes, hampir satu bulan lamanya saya bedrest di rumah, ibu tidak ingin saya dirawat di rumah sakit. Mungkin kasus tentang adik saya tersebut hanya satu di antara ratusan kasus yang terjadi, sebagian diketahui oleh publik sebagian lagi hanya menjadi cerita yang tidak tersampaikan. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu fa...
Komentar