Langsung ke konten utama

Cenning Rara


Di luar angin berhembus pelan, namun menipkan udara dingin hingga menembus sumsum tulang rusuk, masuk lebih dalam menghujam hati. 

“Ibu, aku begitu rindu, sangat. Namun, apakah aku mampu untuk pulang? Ibu, bisakah aku mengatakan tidak. Haruskah aku kembali menghianatimu. 

“Maaf Mak.” Uleng memendang bulan, air mata jatuh, menganak sungai. Hatinya tersandra dilema.

Andi Cahaya Uleng, nama yang indah seindah artinya, cahaya bulan. Namun sayang, malam ini, untuk kesekian kalinya, hatinya dilanda prahara.  Yah, setiap kali rencana penghianatan menuntut dan berontak dibenaknya, bayangan cinta itu selalu hadir, membelai, menghangatkan, menenangkan. Bayangan cinta itu, yang tidak akan pernah pergi dari benaknya, bahkan nama yang indah itu juga pemberian cinta dari sang Ibu yang disapanya “Emmak”.

Bayangan Emmak setia datang menemani, bahkan saat Emmak jauh. Aura cinta Emmak tak pernah pudar, bahkan semakin terasa. Angan-angan Uleng melambung jauh. Lagi, merasakan cinta tak bersyarat Emmak.

Yah, ingatan Uleng begitu jelas, bahkan ia masih bisa merasakan setiap detail manifestasi cinta Emmak. Saat itu, saat usia Uleng masih bisa dihitung dengan jari, setelah terbangun, Emmak pasti akan memilin-milin ujung jari-jari tangan Uleng yang mungil, kata Emmak, dengan seperti itu jari-jari atas akan terliat lebih kecil lalu menjadi lentik. Emmak juga akan mengurut betis Uleng, katanya agar betis Uleng tidak terlalu besar dan akan terbentuk indah. 

Setiap dua minggu sekali, Emmak akan menggosokkan bedda lotong ke seluruh tubuh Uleng yang masih mungil. Yah, Bedda Lotong, lulur khas bugis, resep turun-temurun para bangsawan yang Emmak buat sendiri dengan bahan-bahan alami. Emmak biasa membuat bedda lotong, dengan campuran beras atau jagung yang disangrai sampai gosong, lalu ditumbuk, dicampur dengan kunyit, asam jawa, dan campuran lainnya. Hasilnya, kulit Uleng memang bersinar bak bulan.

Bukan hanya itu, sekali seminggu Emmak juga akan menyantani kepala Uleng, saat itu meskipun sudah ada beberapa merek shampo yang telah tersedia, Emmak  lebih memilih membersihkan kepala Uleng dengan santan, kelapa yang sudah dibakar, setelah dingin kemudian Emmak kunyah, lalu air santannya digosokkan di kepala Uleng. Katanya santan lebih alami, juga akan membuat rambut hitam dan berkilau alami, dan tidak akan cepat ubanan. Lalu, ampas kelapa bakar dari mulut Emmakk, akan digosokkan kembali ke seluruh tubuh Uleng. Emmak, akh, cinta mu…

Uleng beringsut dari jendela, menuju tempat tidur, di atas meja. Diambilnya sebuah figura berisi fotonya dang Emmak, raut wajah yang begitu menyejukkan, kata-kata yang menghangatkan. Lagi, memori itu terputar.

Saat itu usia Uleng dua belas tahun. Di tengah malam, Emmak membangunkan Uleng, namun gadis kecil itu hanya bergeliat sebentar lalu tertidur kembali. Saat tersadar, dia sudah merasakan dirinya telah duduk di tangga kayu rumahnya, Emmak membopong tubuhnya yang mungil. Malam mencekam, hanya ada cahaya bulan di sana. Emmak, berdiri dihadapannya, mengambil air yang berisi bunga-bunga beraneka macam. Mulutnya berkomat-kamit dengan khusyu, lalu meniupkan pada air dan mengguyurkan seketika pada Uleng. 

Itu bukan sekali Emmak memandikan Uleng, pernah juga Emmak menaruh air yang sudah didoakan dalam Tahajjudnya, persis di bawah cahaya sebuah bintang yang bersinar dengan gemintang, konon katanya, bintang itu hanya terlihat setiap seribu tahun. Esoknya seperti biasa, Uleng harus mandi dengan air itu.         

Pernah suatu hari, Uleng berontak, tak mau mandi air yang Emmak berikan, lantaran Ia tau, bunga ada di sana adalah bunga curian. Entah apa maksud Emmak, menyuruh Randi, sahabat kakak laki-lakinya mencuri bunga melati milik tetangga. Yah, tidak seperti biasanya, kali ini Uleng menolak. Emmak tidak marah, ia hanya menuntun tubuh Uleng. Ibu dan anak itu duduk berhadapan. Emmak lalu mulai menjelaskan, dengan lembut seperti biasa, membelai kepala putri semata wayangnya dengan sayang. 

“Nak, Uleng saat ini sudah beranjak menjadi Gadis, kali ini, Uleng harus seperti biasa, menjadi anak baik. Ini adalah ritual Cenning Rara nak, suatu saat kau akan mengerti, kenapa Emmak melakukan semua ini untukmu nak.”

“Tapi,” Baru saja Uleng hendak mengeluarkan ketidaksetujuannya, Wanita tua itu kembali tersenyum dan menjelaskan. “Uleng, ini adalah ritual yang biasanya dilakukan oleh putri bangsawan, kau tau Nak, darah itu mengalir di tubuh kita, dahulu, nenekmu juga melakukan hal yang sama. Bunga melati yang dicuri oleh perjaka saat bulan sedang purnama adalah prasyarat utama. Uleng, ada hal-hal yang tidak perlu kau tanyakan.” Jelas Emmak, sambil mengusap-usap kepala Uleng lembut. 

Akh, sesungguhnya Uleng ingin berontak. Sungguh, Ia ingat ucapan guru agama disekolahnya bahwa mencuri adalah tindakan tak terpuji. Emmak juga selalu bilang hal yang senada padanya. Namun, Entah kenapa, mulutnya terkunci. Baginya, kebahagiaan Emmak, adalah kebahagiaannya, sejak kepergian Etta yang entah di mana. Emmak menjadi ibu juga ayah sekaligus. Semua itu membuat Uleng, menjadi anak penurut, dia tak mau melukai Emmak, dia bisa merasakan cinta yang tulus juga pengorbanan yang begitu besar.

Kini, Uleng sudah tumbuh menjadi Bunga yang betul-betul indah. Kulitnya bercahaya bagai bulan, tingginya semampai, sungguh enak dipandang, jari-jarinya lentik. Yah, penampakannya bagai putri. Tingkah lakunya, derai tawanya, cara berjalan, senyumnya. Jika kau bertemu dengannya, pertemuan pertama saja akan meninggalkan kesan yang indah.

Maka jadilah, ia rebutan para kumbang. Tapi Uleng, bukan gadis biasa. Hatinya tidak mudah menjatuhkan simpati. Kalaupun ada satu dua pria yang berkesan dihatinya. Dia akan menyimpannya rapat-rapat. Dia memang gadis yang istimewa, saat teman-temannya sudah memiliki kekasih, dia teguh pada prinsip, bahwa dia tidak akan berpacaran jika masih berseragam abu-abu.

Uleng. Gadis itu kini sudah dewasa, gadis seusia dia sudah sangat pantas untuk menikah. Dan Emmak adalah orang yang paling gencar mempertanyakan, kapan gerangan anak gadisnya akan menikah. Jika ditanya, Ia akan diam saja, lalu memancarkan senyum keyakinan. 

“Tunggu saja Mak, tidak mudah untuk menemukan pangeran yang tepat,” lanjutnya sambil mengoda sang Ibu.

Uleng, akhirnya tersenyum, menggeleng-gelengkan kepala, tiap kali teringat semua ritual yang dulu Emmak lakukan untuknya, ada hal lucu di sana. Tapi, senyumnya terhenti ketika mendapat telepon dari Emmak, dia harus pulang. Melakukan ritual membuka jodoh. Hatinya tertohok. Emmak, sungguh Uleng tidak bisa, tapi perkataan itu hanya disimpannya di hati. Gadis itu tahu betul bahwa setiap hal yang dilakukan Emmaknya adalah suatu bentuk cinta, tapi untuk kesekian kali Ia harus memikirkan cara untuk menyadarkan Emmak. Jika tidak, Ia harus memikirkan cara untuk menghianati Emmak, sebagai jalan terakhir. Dan menghianati Emmak, melihatnya menangis sugguh seperti menancapkan pisau kedadanya sendiri. Menohok.

Uleng ingat, penghianatan pertama yang dilakukannya. Seorang lelaki pernah datang padanya, memintanya untuk menjadi istri, tapi sungguh Uleng tidak bisa menerima, banyak hal yang ia pertimbangkan, saat itu ia masih semester enam, dan keputusannya sudah bulat. Ia akan menikah setelah kuliah selesai. Dan Emmak, entah kenapa selalu mendesaknya untuk menikah secepatnya. Lalu, terjadilah penghianatan itu, penghianatan atas permintaan Emmak. Tanpa sepengetahuan Emmak, Ia mengirimkan surat kepada laki-laki yang melamarnya. Dia memohon agar membatalkan lamarannya. Uleng, malah memperkenalkan laki-laki itu pada seorang seniornya yang sudah siap menikah. Strateginya berhasil, akhirnya laki-laki itu memilih menikah dengan perempuan yang Uleng kenalkan. Hari itu, Emmak sangat marah, pada lelaki yang Emmak pikir telah mempermainkan putrinya, Ia sakit hati, namun, Emmak tipe perempuan bangsawan bugis seutuhnya, Ia tak lantas memaki apalagi mengutuki orang. Akhirnya Ia pasrah, bahwa laki-laki itu bukanlah jodoh anaknya. Namun, tetap saja ada kesan kecewa dan sedih yang begitu nyata di wajah Emmak, dan Uleng sungguh merasa bersalah.

Lamaran ke dua datang, saat Uleng baru saja menyelesaikan sarjananya. Pucuk dicinta ulam tiba, Emmak begitu bahagia. Ia bergitu bersuka ria dengan lamaran yang datang untuk purtinya. Sepupu jauh Uleng, seorang pengusaha yang cukup mapan. Tapi seperti biasa, Uleng hanya diam, tanpa ekspresi. Apakan dia menunggu seseorang, entahlah. Pastinya, disetiap sujud di sepertiga malam, Ia selalu menangis, tapi ia tak kuasa menolak keinginan Emmak, ia sungguh tak ingin menyakiti hati Emmak. Suatu hari Emmak pulang dengan wajah merah padam. Ia memutuskan lamaran itu, yah kali ini Emmak yang memutus lamaran untuk Uleng. Konon katanya, lelaki itu adalah pemabuk, Emmak bahkan telah membuktikan kebenarannya. Lagi-lagi mendung menghiasi wajah Emmak.

Uleng, gadis itu sungguh menarik hati. Enam purnama selepas lamarannya yang ke dua, lamaran ketiga kembali datang. Kini, tawaran itu datang dari sosok lelaki alim, seorang lulusan universitas Islam yang sekarang hampir menyelesaikan S2nya. Lelaki itu adalah anak dari teman lama Emmak, mereka sepakat untuk mempertemukan keduanya. Uleng, saat diperkenalkan dengan lelaki itu, entah kenapa hatinya terasa damai, akh, mungkin karena aura kesalihan yang memancar. Kali ini hati Uleng yakin, Sang pria, juga tidak menolak, sepertinya ia telah jatuh hati dengan Uleng. Yah, lelaki mana yang tidak jatuh hati ketika bertemu dengan gadis seindah Uleng. Tapi, tiba-tiba kabar buruk itu datang bak petir di siang bolong.

“Maafkan Kakak dek Uleng, sepertinya kita tidak bisa melanjutkan ta’aruf kita. Maaf, sebenarnya sebelum bertemu Uleng, kakak sudah ta’aruf dengan seorang akhwat. Namun, karena hati Kakak condong kepada Uleng, maka Kakak telah memutuskan ta’aruf dengan akhwat itu. Tapi, sekarang akhwat itu ada di rumah sakit, dia mencoba bunuh diri. Akhwat itu sudah terlalu mencintai Kakak. Maaf Uleng, saya tahu adik akhwat yang kuat, maafkan Kakak. Saya juga sangat sakit, tapi saya Lelaki dik, saya harus mempertanggungjawabkan perbuatan saya. Setelah salat istiharah, saya memutuskan untuk menikahi dia. Maaf dik, dia lebih membutuhkan Kakak dari pada Adik. Semoga Uleng mendapat lelaki yang lebih baik”

Hati Uleng hancur, tapi sungguh lebih hancur lagi melihat Emmak menangis. Dan, kembali Ibu anak itu saling menguatkan, mencoba tegar.

Cobaan itu belum berakhir, kesedihan itu memuncak di sini, melumat hati mereka. Menantang Iman di hati Uleng. Enam bulan kemudian, kembali seorang senior Uleng menyatakan ingin melamarnya. Namun sayang dalam perjalanan dari Makassar menuju Bone, di sebuah persimpangan menukik, mobil yang ditumpangi sang senior menabrak tebing, dan tak ada yang selamat. Saat mendengar kabar itu, tiba-tiba penglihatan Uleng gelap. 

Dan, sekarang Uleng di sini, jauh dari kota kelahirannya, jauh dari Emmak, dia memilih melanjutkan studinya. Besok ia harus pulang. Kalender di dinding telah berganti tiga kali, setelah lamaran terakhir, tak ada satupun lagi lamaran yang datang. Pun, sampai Uleng telah mendapat gelar s2, dan bekerja, lamaran tak kunjung datang. Takutkah lelaki untuk melamar Uleng, akan tingginya uang panae. Uleng, seorang gadis cantik, sholehah, cerdas, setelah menyelesaikan s2nya, Ia telah bekerja menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta. Kira-kira berapa uang pana’enya 100 juta, lebih kah? Gadis bugis dengan tingginya uang panae, selalu menghadirkan pro dan kontra. Akh, tapi mereka salah. Uleng sudah berhasil mendakwahi Emmak, dan wanita itu tentulah lebih mencintai anaknya dari pada ratusan juta uang. 

Pernah juga Emmak menuding semua gara-gara Jilbab yang Uleng kenakan, mungkin karena hampir putus asa. Lihat saja betis Uleng yang elok dipandang, pinggangnya yang ramping tertutup oleh gamis longgar. Juga rambutnya yang seperti model shampoo, tak ada yang dapat dipandang kerena telah dibungkus rapat dengan kerudung panjang. Tapi, Uleng sudah bulat memakai pakaian takwa. Emmak kali ini tak bisa berbuat banyak. Emmak adalah muslim yang taat, walaupun tidak begitu paham aturan agama. Akh, tahukah Emmak, bahkan sampai sekarang Uleng tak pernah memiliki kekasih. Saat kuliah, Uleng bertemu dengan aktivitas dakwah, dan jatuh cinta dengan Islam, hingga akhirnya keputusannya untuk pacaran selepas SMA ditinggalkan. Laki-laki yang diam-diam menyukainya, hanya bisa mengaguminya. Pun, ketika mereka berani mengungkapkan Uleng, tentu saja menolak dengan anggun. Uleng memiliki pertahanan diri yang kuat. Takwa.

Sesekali, ia pernah tertarik dengan teman sesama aktivis dakwah, tapi, beberapa di antara mereka hanya memberi Janji. Uleng tidak suka pada ketidakpastian. Hingga, sang senior Mantan Ketua LDK hendak datang melamarnya, tapi sayang kecelakaan naas itu datang. Dan, hingga saat itu, Uleng masih trauma, ia menyibukkan harinya dengan dakwah dan menuntut ilmu. Uleng, takut jatuh cinta sesunguhnya, walaupun hatinya dilanda kesepian. Bukankah umurnya memang hampir hampir 26 tahun. Yang membuatnya semakin terbebani adalah tawaran Emmak untuk melakukan ritual Membuka Jodoh… Tidak…

“Ya, Rabb.” Hanya pada Allah, Ia mengadukan segala dilema yang menghujam di dadanya. Di depan adik-adik binaannya Ia selalu tegar, jika ditanya soal pernikahan, Ia menjawab mantap bahwa akan ada saat yang tepat, meski terbersit keraguan, namun kembali kuat ketia ia mengingat Tuhannya.

“Nak, pulanglah, Emmak mohon, pulanglah. Kemarin saat berbelanja ke pasar. Emmak bertemu kawan lama Emmak, dia menanyakan kabarmu, tapi sebelum menjawab, Ia sudah tahu tentangmu. Ia orang “pintar”. Nak, kau tahu kenapa lamaran-lamaran itu selalu gagal, juga perihal lamaran yang tak datang-datang lagi, katanya Surat Nikahmu tertutup, kita harus membukanya nak. Malam jumat, kau akan dimandikan olehnya. Hari ini juga kamu harus pulang. Melakukan ritual Cenning Rara, membuka jodoh, Emmak akan mempersiapkan semuanya” Jelas Emmakk tegas, tanpa menunggu jawaban, Emmak memutus telepon”

***

Subuh itu setelah melaksanakan tilawah dan shalat subuh. Yah, Uleng selalu menunggu subuh, selepas shalat di sepertiga malam kadang-kadang Ia sahur di senin-kamis, untuk berpuasa esoknya. Namun subuh ini berbeda, ia benar-benar meminta kekuatan pada Allah, agar tetap berada di Jalan kebenaran, dan menjaga hatinya agar tidak condong kepada kesesatan setelah mendapat petunjuk. Permintaan Emmak untuk melaksanakan Cenning Rara pembuka jodoh membuat rasa gundah dihatinya berlipat. Hanya pada Allah, tempatnya mengadu.

“Rabbana, la tuzigh qulubana ba’da idh hadaytana wa-hab lana min ladun-ka rahmatan, innaka anta al-wahhab. Ya Allah, Engkaulah maha pembolak-balikkan hati.”

“Ya Muqallibal Quluub, Tsabit Qalbi  ‘Ala Diinik’  

Tanpa melepas mukenah, ia berjalan menuju kamar Emmak. Dilihatnya Emmak masih berdoa, dan walaupun berbisik Uleng bisa mendengar, doa itu untuknya doa agar segera di beri jodoh oleh Allah, air mata Uleng menganak sungai. Lagi, Emmak, maaf. Dengan sabar Uleng menunggu, sampai Emmak selesai dengan doa panjangnya. Dengan air mata yang masih berderai, Uleng mengambil punggung tangan Emmak, menciumnya dengan takzim.

“Mak, maafkan Uleng, belum bisa membuat Emmak bahagia.”

“Tidak nak, sejak kelahiranmu Emmak begitu bahagia, Uleng kaulah cahaya hidup Emmak.” Bisik Emmak, dengan cinta sambil memeluk Uleng”

“Uleng mengangis tergugu, Mak, maafkan Uleng, Mak, tak pernah sebelumnya Uleng menolak keinginan Emmak, tak pernah pula Uleng meminta terlalu banyak. Subuh ini Mak, sungguh Uleng mohon, batalkan prosesi Cenning Rara itu Mak. Yakinlah, Allah telah menyiapkan jodoh terbaik untuk Uleng.” Kata-kata uleng melesat, menembus hati Emmak.

Emmak, tak bisa berkata apa-apa lagi, ia hanya mengangguk, sambil menghapus air matanya yang juga terus mengalir. Lalu barulah menguatkan diri berkata. 

“Baiklah, saya serahkan jodohmu pada Allah Nak. Emmak ikhlas, semoga jodohmu segera terbuka, Emmak, hanya menginginkan kebahagiaanmu Nak, Emmak ingin segera kau menemukan imam dalam hidup, agar ketika Emmak pergi, ada yang menjagamu.” Emmak, menatap langit-langit kamarnya, air mata itu semakin deras.

Kini, Uleng yang tidak bisa berkata apa-apa mereka saling berpelukan lebih kuat. Uleng selalu memohon pada Allah, agar memanjangkan umur Emmak.

***

Pagi itu, Ibu dan Anak terlihat ceria, mereka menyirami bunga-bunga di halaman, berharap tumbuh dan berbunga dengan indah, sama dengan harapan yang mereka tanam di hati, sebuah harapan yang sama, terbang kelangit bersama kepak sayap malaikat subuh tadi. Tidak ada lagi proses Cening Rara membuka jodoh. 

“Assalamualaikum”

Sebuah suara salam bernada bas, membuat kegiatan mereka berhenti. 

“Waalaikumsalam, suara Uleng dan Emmak kompak sambil berbalik, sesosok pria dengan baju kojo putih telah berdiri di hadapan mereka.

Jantung Uleng berdebar, Kak Fatih. Ia teringat, semalam Ia mendapat sms dari Musrifahnya, Dek, bagaimana status Uleng sekarang, sudah ada yang khitbah kah?  

“Uleng menunduk dalam-dalam matanya berkaca-kaca, dadanya berdesir lembut”

Kak Fatih bermaksud melamarnya. 


Note : Cerpen ini telah terbit dalam sebuah antologi dengan judul buku Misteri Jodoh.

Penulis

Andi Asrawaty





      


  


Gambar: hidayatullah.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Kecil Untuk Diriku...

Dalam perjalanan hidup, terkadang kita terlalu banyak memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak akan terjadi. Pikiran-pikiran negatif, perasaan-perasaan yang tidak seharusnya. Pikiran dan perasaan itu lalu menumpuk, bagaikan benang kusut yang kita tidak pernah tahu, bagaimana dan kapan akan berakhir. Pada titik itu, kita dilanda depresi. Suatu hal yang sebenarnya ilusi yang kita ciptakan sendiri. Jika berada di titik itu, tariklah nafas. Terima keadaan, terima dirimu, dan selalu yakin bahwa Allah selalu ada, dimanapun dan bagaimanapu  kondisi kita. Berikan waktu untuk diri, mulaikah pikirkan hal-hal yang baik dan indah, tentang semua hal yang kita lewati, tentang semua rintangan yang telah kita hadapi. Singkirkan satu persatu kecemasan yang tidak semestinya. Mulailah membuat impian, pikirkan langkah-langkah kecil yang akan membuat semuanya menjadi lebih indah. Jika terdapat hambatan, yakinlah itu hanya ujian untuk membuatmu semakin kuat. Membuat cerita dalam perjalanan hidupmu ak

Merayakan Aksara dalam Dekapan Keindahan Banggai

Luwuk , saya telah lama mendengar nama kota ini, adalah ibukota kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Beberapa sanak saudara saya, merantau dan akhirnya menetap di sana, pun mertua saya pernah menetap beberapa tahun di salah satu kacamatan di Banggai . Setiap mereka pulang ke kampung halaman, oleh-oleh berupa ikan asin dan cumi kering menjadi makanan yang selalu kami tunggu, hal tersebut membuktikan bahwa potensi kekayaan bahari Banggai begitu melimpah. Hal ini tak mengherankan karena sebagaian besar wilayahnya merupakan lautan yaitu sekitar 20.309,68 km2 dengan garis pantai sepanjang 613,25 km2, tentu saja menyimpan kekayaan bahari yang berlimpah.   Tidak hanya itu wilayah daratanya dengan luas 9.672,70 km2, dengan keanekaragaman tipografi berupa pegunungan, perbukitan dan dataran randah. Tanahnya menyimpan kesuburan, berbagai buah-buahan dapat tumbuh subur ranum. Bulan kemarin saya bahkan mendapat kiriman buah naga dan salak yang sangat manis dari saudara di Luwuk .  Da