Saat orang orang di ruang tunggu lebih asyik bersms dan menelpon ria daripada membaca Koran. Penumpang lebih memilih menghisap rokok ketimbang membaca kumpulan cerpen. Sudah sangat minim mahasiswa yang rajin membaca apalagi menulis. Begitu susah menemukan calon pegawai tamatan S1 yang mampu membuat proposal yang bagus atau rencana kerja yang baik. Benar apa kata Taufik Ismail generasi kita rabun baca, dan lumpuh menulis. Mereka juga seakan tidak peduli lagi dengan budayanya sendiri. Mereka lebih bangga dan sibuk berlomba-lomba mengikuti perkembangan budaya lain, jangan heran kalau suatu hari kita akan belajar budaya kita sendiri dari bangsa lain. Padahal bangsa yang hebat adalah bangsa yang berbudaya dan majunya suatu bangsa terletak pada majunya budaya membaca dan menulis. Apalah jadinya bangsa ini nanti?
Inilah kegelisahan yang acap kali dirasakan segelintir anak muda di kampus merah atas fenomena di atas. Di tengah keterasingan media liteasi dimana membaca dan menulis bukan lagi menjadi hal yang biasa. Haji Bello hadir untuk meredam keresahan yang menggeliat di batin Aktifis Forum Lingar Pena Unhas. Haji Bello merupakan kumpulan dari cerita-cerita terbaik yang mencoba mendeskripsikan fenomena-fenomena sosial yang berkembang di masyarakat dalam bentuk kritik sosial yang dipadukan dengan budaya lokal untuk memperkaya pengetahuan pembaca tentang budaya Makassar.
Sastra tidak akan pernah terlepas oleh budaya, sastra disuatu tempat akan menunjukkan kecirikhasannya masing-masing sesuai budaya dan sejarah yang membentuk dan mempengaruhi sebuah karya sastra. Begitu pula sastra yang penulis coba angkat dalam buku ini. Dengan kejelihannya, penulis mencoba mengemas cerita tersebut dalam sebuah cerpen dimana kekuatan diksinya dipadukan dengan logat dan bahasa daerah menjadi sebuah keunikan tersendiri yang membedakannya dengan buku lainnya. Cerpen ini memang sangaja di tampilkan semenarik mungkin agar mampu menjangkau semua kalangan mulai anak, ramaja, dewasa dan lansia. Mulai dari daeng becak, anak sekolahan, mahasiswa, pekerja kantoran atau siapapun. Karena sastra milik semua.
Sastra lokal tersebut terdiri dalam beberapa cerpen, antara lain Aji Bello yang merupakan judul terpilih dari beberapa judul terbaik. Judul merupakan salah satu daya tarik utama dalam sebuh buku. Dan judul “Aji Bello” sendiri telah menampakkan daya pikat tersebut. Sebuah judul akan sukses ketika orang mulai menimbulkan kontroversi melalui pertanyaan-pertanyaan tentang apa isi Aji Bello tersebut. Hal itu terbukti ketika saya mencoba memperlihatkan sampul buku tersebut. Orang-orang yang tidak sengaja melirik buku yang ada di tangan saya akan bertanya apakah buku kiat-kiat menjadi haji mabrur? Ataukah menjadi haji yang cantik? Atau mungkin buku khusus untuk perempuan? Atau mengkin hanya sekedar bertanya, artinya apa? Saya hanya tersenyum dengan menyimpan sejuta misteri.
Aji bello mencoba mengangkat kritik sosial dimana sebagian orang menjadikan status hajinya sebagai sebuah alat yang untuk dipamerkan dan menaikkan status sosial di masyarakat. Padahal ibadah haji tidak lain hanya semata-mata merupakan bentuk ibadah dan pengabdian kepada Allah SWT. Lain lagi dengan cerpen Anak Arung menceritakan tentang adanya strata sosial yang terbentuk di masyarakat bugis golongan Arung yang nota benenya merupakan status tertinggi sehingga ketika menentukan pasangan orang tua harus memilihkan pasangan yang memiliki darah yang sejajar agar darah biru sang arung dapat diwariskan dan tetap abadi. Sehingga, konfik antara orang tua dan anak tidak bisa lagi dihindarkan ketika sang anak memillih jodohnya yang lain.
Inilah kegelisahan yang acap kali dirasakan segelintir anak muda di kampus merah atas fenomena di atas. Di tengah keterasingan media liteasi dimana membaca dan menulis bukan lagi menjadi hal yang biasa. Haji Bello hadir untuk meredam keresahan yang menggeliat di batin Aktifis Forum Lingar Pena Unhas. Haji Bello merupakan kumpulan dari cerita-cerita terbaik yang mencoba mendeskripsikan fenomena-fenomena sosial yang berkembang di masyarakat dalam bentuk kritik sosial yang dipadukan dengan budaya lokal untuk memperkaya pengetahuan pembaca tentang budaya Makassar.
Sastra tidak akan pernah terlepas oleh budaya, sastra disuatu tempat akan menunjukkan kecirikhasannya masing-masing sesuai budaya dan sejarah yang membentuk dan mempengaruhi sebuah karya sastra. Begitu pula sastra yang penulis coba angkat dalam buku ini. Dengan kejelihannya, penulis mencoba mengemas cerita tersebut dalam sebuah cerpen dimana kekuatan diksinya dipadukan dengan logat dan bahasa daerah menjadi sebuah keunikan tersendiri yang membedakannya dengan buku lainnya. Cerpen ini memang sangaja di tampilkan semenarik mungkin agar mampu menjangkau semua kalangan mulai anak, ramaja, dewasa dan lansia. Mulai dari daeng becak, anak sekolahan, mahasiswa, pekerja kantoran atau siapapun. Karena sastra milik semua.
Sastra lokal tersebut terdiri dalam beberapa cerpen, antara lain Aji Bello yang merupakan judul terpilih dari beberapa judul terbaik. Judul merupakan salah satu daya tarik utama dalam sebuh buku. Dan judul “Aji Bello” sendiri telah menampakkan daya pikat tersebut. Sebuah judul akan sukses ketika orang mulai menimbulkan kontroversi melalui pertanyaan-pertanyaan tentang apa isi Aji Bello tersebut. Hal itu terbukti ketika saya mencoba memperlihatkan sampul buku tersebut. Orang-orang yang tidak sengaja melirik buku yang ada di tangan saya akan bertanya apakah buku kiat-kiat menjadi haji mabrur? Ataukah menjadi haji yang cantik? Atau mungkin buku khusus untuk perempuan? Atau mengkin hanya sekedar bertanya, artinya apa? Saya hanya tersenyum dengan menyimpan sejuta misteri.
Aji bello mencoba mengangkat kritik sosial dimana sebagian orang menjadikan status hajinya sebagai sebuah alat yang untuk dipamerkan dan menaikkan status sosial di masyarakat. Padahal ibadah haji tidak lain hanya semata-mata merupakan bentuk ibadah dan pengabdian kepada Allah SWT. Lain lagi dengan cerpen Anak Arung menceritakan tentang adanya strata sosial yang terbentuk di masyarakat bugis golongan Arung yang nota benenya merupakan status tertinggi sehingga ketika menentukan pasangan orang tua harus memilihkan pasangan yang memiliki darah yang sejajar agar darah biru sang arung dapat diwariskan dan tetap abadi. Sehingga, konfik antara orang tua dan anak tidak bisa lagi dihindarkan ketika sang anak memillih jodohnya yang lain.
Komentar