Langsung ke konten utama

Palestina Memanggilmu


Oleh Andi Asrawaty
“Di negeri kami langit selalu tampak bercahaya, dari jauh sekilas cahaya itu akan tampak indah, berwarna warni menghias angkasa. Namun, siapa sangka? Ternyata cahaya itu datang meminta ribuan tumbal nyawa. Nyawa dari manusia-manusia yang jiwanya tidak pernah merasakan takut tatkala suara-suara raksasa dari rudal-rudal melebur bersama suara-suara senapan yang menebarkan ratusan peluru. Menyayatkan sembilu atas ribuan nyawa. Pembantaian atas penghianatan kemanusiaan itu datang dari sebuah negeri calon penghuni neraka abadi. Mereka datang dengan hasrat kebinatangan, bukan lagi kerasukan, tapi naluri kebinatangan itu telah menelusup, menjalar bahkan telah mendarah daging dalam diri mereka, hingga sebuah nyawa kaumnya tidak lebih berharga dari nyawa seekor nyamuk yang harus segera dimusnahkan.”
“Di negeri kami, mereka datang menumpang sebagai pengungsi lalu sedikit demi sedikit menggorogoti perlahan tapi pasti mendesak kami semakin tersingkir dari jalur gaza, jalur yang seharusnya menjadi hak milik kami sepenuhnya. Lalu, hari demi hari sedikit demi sedikit mendobrak terang-terangan menyebarkan kaki-kaki perampasan hak-hak atas tanah kami. Konflik itu bermula di Tahun 1948, tanggal 14 Mei saat para zionis memperoleh kemerdekaannya di Negeri kami. Sementara kami harus terjajah di negeri sendiri. Organisasi terbesar di dunia membuat keputusan tidak rasional, mereka mengesahkan pendudukan atas 80 persen wilayah kami. Mereka akhirnya leluasa datang dengan ribuan tentara yang di lengkapi senjata caliber tercanggih, buldoser serta mesin-mesin pembunuh raksasa yang mereka tempatkan di titik-titik penting. Menghancurkan pemukiman beserta seluruh isi dan penghuninya. Sampai saat ini, kami terjajah, tapi hanya untuk sementara menyimpan kekuatan untuk kembali bangkit mengambil alih tanah kami.”
“Di negeri kami, senjata, tank, mayat yang berserakan, bau anyir darah, suara rintingan tangis, suara pejuang semua menjadi hal yang wajar. Ah,,, mereka sungguh lancang mencipakan neraka mencekam di bumi di negeri kami yang kaya akan minyak dan damai. Kami boleh saja terjajah secara fisik, namun jiwa kami tidak akan pernah kalah oleh todongan senapan yang pelatuknya dapat kapan saja meledakkan kepala kami. Secara kasat mata mereka mungkin menang, itu pun hanya sementara. Sementara mereka semakin mengganas. Keinginan untuk melumpuhkan dan menguasai tanah air kami secepatnya terus menguasai jiwa mereka, tapi sayang keinginan mereka hanya sebuah mimpi utopis bagi kami karena jiwa kami tak akan pernah mungkin terjamah oleh kehancuran fisik maupun mental.”
***
Suara-suara itu terus bergema di setiap ruang pendengaranku, begitu nyata suara jeritan seorang saudara seiman nun jauh di sana. Bukan hanya satu, kadang-kadang suara itu menjelma menjadi dua, tiga, seratus bahkan ribuan suara yang meneriakkan penderitaan, dan menyuarakan keteguhan hati dan menceritakan detail rekaman rentetan peristiwa sadis mereka alami. Akh, ribuan saudaraku nun jauh di sana membutuhkan pertolonganku. Jauh di dalam relug hatiku suara itu menggedor-gedor hatiku memanggil untuk berbuat sesuatu untuk mereka.
Bersama aktivis-aktifis islam kami salalu melakukan aksi demonstrasi terkadang disertai aksi teaterikal yang bercerita kebiadaban Israel dan sekutunya memporak-porandakan negeri Palestina. Demonstrasi, menghimpun kekuatan bersama, menyuarakan kutukan terhadap Negara kafir yang menyerang tanpa nalar, melanggar HAM, membunuh secara keji, dan diatas segalanya negara laknat itu telah melukai dunia Islam. Aksi demi aksi kulakukan atas dasar pembelaan hak-hak palestina yang nyata terinjak-injak. Berharap jeritan-jeritan yang datang mengunjungi muara nuraniku dapat sedikit berdamai. Namun tidak, jeritan itu semakin menjadi bahkan menjelma nyaris nyata dalam mimpiku.
Kulihat bocah-bocah kecil yang yang memegang ketapel, para wanita menggemgam senjata. Tubuh-tubuh berserakan oleh bom, bangunan yang hancur menyisakan puing-puing yang bercampur dengan darah. Akh,,, jeritan tangis dan perlawaan saudara-saudaraku terdengar dan tergambar begitu jelas bukan lagi mengetuk tapi seakan meruntuhkan gendang telinga nuraniku.
***
Ditemani hembusan angin malam serta suara kendaraan yang sesekali lewat memecah kesunyian malam, dua orang pria yang berdarah bugis itu masih duduk di teras suatu rumah bercengkrama dengan sinar temaram lampu lima Watt yang tak teracuhkan oleh sinar bulan purnama.
“Daeng aku ingin berangkat ke Palestina.“ Setelah terdiam hampir satu jam lamanya dengan pikiran masing-masing. Ismail akhirnya memenjarakan sepi dengan dengan membuka suaranya yang diiringi desah.
Pria setegah baya yang disapanya Daeng hanya menyeruput kopi yang sudah tidak lagi mengepulkan asap. Sesaat dia terdiam.
“Ternyata selama ini itu yang membuatmu resah Is,”
Pertanyaan pria itu hanya sampai disitu dia tahu benar pria muda yang talah dia anggap sebagai adik kandung itu akan bercerita banyak padanya malam ini. Sudah tampak lama dirinya menangkap keresahan yang terbaca tanpa kata. Tak pernah sekalipun dia menanyakan permasalahan itu pada adiknya. Dia tahu betul kepribadian Mail yang tertutup. Ketika dia merasakan perlu berbagi maka ungkapan itu akan menalir sendiri, tanpa tanya, hanya ada jawab.
“Ia Daeng, telah lama aku memikirkan untuk hal ini,”
“Jihad? Tapi bukankah disini kita juga melakukan perjuangan untuk Palestina?”
“ia Daeng tapi,”
Daeng hanya mengangguk, tanpa bertanya apa-apa
Tapi, setiap malam aku merasakan gelisah, aku mendengar jeritan yang meminta pertolonganku. Entah itu apa? Aku merasa mereka membutuhkanku, ataupun kalau pergi aku tidak memiliki siapa-siapa di sini.
Yang dari tadi hanya diam dan mendengarkan akhirnya angkat bicara
“Is, tidak usah pergi jika alasan keberangkatanmu ….”
Hanya udara yang menyampaikan melanjutkan pria itu
“Atas dasar apa kau beraggapan demikian? Lalu kau anggap aku ini siapa, kak Yuni siapa, anak-anak panti siapa? Kau pikir selama ini kami bukan keluarga?”
“Afwan Daeng, bukan itu, bukan, sungguh aku sudah menganggap Daeng kakak sendiri kak Yuni juga, dan semua adik-adik panti disini. Tapi, saya merasa tidak cukup jika hanya melakukan aksi dari jauh dan membiarkan saudara kita menderita. Jauh dalam hati nurani saya memanggil untuk berbuat lebih dari sekedar melakukan aksi peduli dari sini.”
“ Bagaimana dengan kuliah kamu?”
“Saya sudah memutuskan untuk berhenti kuliah Daeng.”
Sesaat dia memandangi bulan purnama yang bulat, mengagumi keindahannya. Lalu mengucap syukur dan kagum atas kekuasaan tuhannya.
“Kuliah? Sudah tiga bulan saya mengikuti kuliah Daeng, tapi saya tidak begitu tertarik hanya berkutat dengan teori-teori itu, buakankah saya sudah dapat membacanya di buku? Bahkan sebelum kuliah di mulai saya sudah paham dengan teori tersebut. Saya akan kuliah di Palestina saja, kuliah diantara tangisan dan epati, dengan senjata dan nyali, dengan darah dan keberanian, di antara mayat dan persaudaraan. Itulah kuliah kehidupan yang saya inginkan. Mempraktikkan teori secara real! Saya rindu pahala Jihad Deng, mereka memanggil saya Deng, jelas sekali jeritan itu, mereka menunggu dengan berteriak sangat keras, keras sekali. Izinkan saya Daeng, sekarang saya hanya membutuhkan keridhoan Daeng merelakan saya pergi.”
“Sejujurnya, Tidak akan ada yang membuat saya takut menuju Palestina, saya tidak akan gentar menghadapi zionis, bahkan maut sekalipun, kecuali perpisahan dengan kalian. Selain kalian, tidak aka nada yang menahan kepergianku, tidak ada yang akan mengharapkan kedatanganku, sejak saya telah lahir yatim piatu, tak juga pernah tahu keluarga selain Daeng, kak Yuni, dan semua adik-adik panti. Kalian adalah keluarga yang paling berharga yang pernah ada. Saya sudah sudah merasa sangat beruntung mengenal kalian, terutama Daeng yang telah membebaskan saya dari jeratan kehidupan malam menuju cahaya islam.”
“Tidak perlu lagi Daeng keluarkan uang untuk kuliah saya, pergunakan saja untuk adik-adik. Saya tidak mau membebani Daeng lebih jauh. Lebih dari cukup, Deng menyadarkan saya dari kehidupan gelap dengan dunia islam yang begitu indah. Dalam hal itu saya sungguh tidak mampu membalas Deng, hanya Allah saya selau berharap untuk menggantikan surga sebagai ganjaran kebaikan setimpal dengan kebaikan Daeng. Mohon Daeng jangan menghalangi saya, ini sudah keputusan saya yang bulat. “
“Tidak ada satupun yang akan menghalangi kamu Is, tidak juga aku. Sejak pertama melihatmu di jalan sewaktu mencopetku, aku telah mendalami sinar matamu yang menyimpan ketegasan, kini setelah memahami Islam seutuhya, kau telah matang. Kedewasaan telah menjamah jiwa dan ragamu. Maka apa yang harus aku kulakukan selain doa yang tulus melepasmu mencari surga Allah yang kau dambakan.”
***
Ismail akhirnya berdiri di tengah-tengah rakyat Palestina, merasakan penderitaan menyaksikan banjir darah Palestina. Emosi pria itu tak lagi terbendung, tak kala melihat kebiadaban berlangsung di depan matanya. Seorang tentara mencengkram tangan seorang anak kecil yang mencoba melempari baru ke arah pasukan Israel, menumpahkan dendam atas kematian ibunya menjelang suara adzan hendak berkumandan. Seketika , reflek sang tentara mencengkram tangan anak itu. Hendak di patahkan, hukuman tak berprikemanusiaan tak terkecuali pada anak anak. Dengan langkah seribu pria itu melakukan perlawanan. Namun…
Hari itu, tepat tiga bulan lamanya Ismail bergulat bersama berbagai suara berbau kematian. Setelah berhasil menembus penjara raksasa terbesar yang Israel ciptakan untuk menblokade Palestina terhadap dunia luar. Di dalam penjara itu mereka di pasung dengan bom, peluru-peluru seperti hendak menghancurkan regenerasi warga Palestina. Hari itu, sebuah peluru telah mendarat tepat di dadanya atas pembuktian kepedulian yang nyata atas Palestina. Tapi, Ismail tidak lagi merasakan sakit, nyerinya telah menguap bersama jeritan-jeritan yang berteriak memanggil namanya. Senyap, dan mengalun begitu indah bersahut-sahutan. Ismail ternyata telah menangkap jeritan-jeritan dari surga yang telah memanggil namanya jauh di atas langit. Allahu Akbar. Akhirnya jeritan terakhir itu diteriakkanya atas syahid sebagai penebus kebebasan Palestina suatu hari nanti.

Andi Asrawaty, lahir di Watampone, Sulawesi Selatan, pada 14 Mei 1990. Karya-karyanya, baik puisi maupun cerpen, telah dimuat di sejumlah media massa, baik lokal maupun nasional. Seperti Harian Fajar dan Identitas di Makassar, dan Republika. Aktif di Forum Lingkar Pena (FLP) Makassar

Nb: Cerpen ini Pernah di muat di Harian Republika Edisi 13 Juni 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Kecil Untuk Diriku...

Dalam perjalanan hidup, terkadang kita terlalu banyak memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak akan terjadi. Pikiran-pikiran negatif, perasaan-perasaan yang tidak seharusnya. Pikiran dan perasaan itu lalu menumpuk, bagaikan benang kusut yang kita tidak pernah tahu, bagaimana dan kapan akan berakhir. Pada titik itu, kita dilanda depresi. Suatu hal yang sebenarnya ilusi yang kita ciptakan sendiri. Jika berada di titik itu, tariklah nafas. Terima keadaan, terima dirimu, dan selalu yakin bahwa Allah selalu ada, dimanapun dan bagaimanapu  kondisi kita. Berikan waktu untuk diri, mulaikah pikirkan hal-hal yang baik dan indah, tentang semua hal yang kita lewati, tentang semua rintangan yang telah kita hadapi. Singkirkan satu persatu kecemasan yang tidak semestinya. Mulailah membuat impian, pikirkan langkah-langkah kecil yang akan membuat semuanya menjadi lebih indah. Jika terdapat hambatan, yakinlah itu hanya ujian untuk membuatmu semakin kuat. Membuat cerita dalam perjalanan hidupmu ak

Merayakan Aksara dalam Dekapan Keindahan Banggai

Luwuk , saya telah lama mendengar nama kota ini, adalah ibukota kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Beberapa sanak saudara saya, merantau dan akhirnya menetap di sana, pun mertua saya pernah menetap beberapa tahun di salah satu kacamatan di Banggai . Setiap mereka pulang ke kampung halaman, oleh-oleh berupa ikan asin dan cumi kering menjadi makanan yang selalu kami tunggu, hal tersebut membuktikan bahwa potensi kekayaan bahari Banggai begitu melimpah. Hal ini tak mengherankan karena sebagaian besar wilayahnya merupakan lautan yaitu sekitar 20.309,68 km2 dengan garis pantai sepanjang 613,25 km2, tentu saja menyimpan kekayaan bahari yang berlimpah.   Tidak hanya itu wilayah daratanya dengan luas 9.672,70 km2, dengan keanekaragaman tipografi berupa pegunungan, perbukitan dan dataran randah. Tanahnya menyimpan kesuburan, berbagai buah-buahan dapat tumbuh subur ranum. Bulan kemarin saya bahkan mendapat kiriman buah naga dan salak yang sangat manis dari saudara di Luwuk .  Da

Cenning Rara

Di luar angin berhembus pelan, namun menipkan udara dingin hingga menembus sumsum tulang rusuk, masuk lebih dalam menghujam hati.  “Ibu, aku begitu rindu, sangat. Namun, apakah aku mampu untuk pulang? Ibu, bisakah aku mengatakan tidak. Haruskah aku kembali menghianatimu.  “Maaf Mak.” Uleng memendang bulan, air mata jatuh, menganak sungai. Hatinya tersandra dilema. Andi Cahaya Uleng, nama yang indah seindah artinya, cahaya bulan. Namun sayang, malam ini, untuk kesekian kalinya, hatinya dilanda prahara.  Yah, setiap kali rencana penghianatan menuntut dan berontak dibenaknya, bayangan cinta itu selalu hadir, membelai, menghangatkan, menenangkan. Bayangan cinta itu, yang tidak akan pernah pergi dari benaknya, bahkan nama yang indah itu juga pemberian cinta dari sang Ibu yang disapanya “Emmak”. Bayangan Emmak setia datang menemani, bahkan saat Emmak jauh. Aura cinta Emmak tak pernah pudar, bahkan semakin terasa. Angan-angan Uleng melambung jauh. Lagi, merasakan cinta tak bersyarat Emmak. Ya