Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2012

Gundah

Menulis... Aku harus menulis apa? Ah. Dulunya aku yang sering memberi nasehat bagaimana memulai sebuah tulisan. Tapi, sekarang rasanya tak satu kata pun dapat kutilis. Ah, jangankan memulai sebuah kata, ingin menulis tentang apa pun aku bingung. Hm... Kamu tahu tidak, dulunya aku sering yang memberi nasehat ke orang-orang. “Kalau kamu lagi stag, blank, atau apapun namanya tuliskan saja apa yang terlintas dibenakmu saat itu. Apapun itu, mungkin dengan begitu paling tidak hal-hal yang mengganjal pikiranmu, menyesakkan hatimu dan menghalangimu menulis ide-idemu bisa berkurang dengan menumpahkan uneg-uneg pada selembar kertas.” Begitu kata-kata itu sering kuucapkan. Dah sekarang penyakit itu malah bersarang di diriku sendiri. Bingung memulai tulisan setelah lama tak menulis.   Em... bukankah dulu juga seperti itu, kalau aku sedang malas sekali mengerjakan tugas maka terlebih dahulu aku akan curhat tentang kondisi pikiran dan hatiku saat itu yang sedang tidak siap mengerjak

List Target yang Menjadi Nyata

Tak banyak penulis yang bisa menulis cerpen sekaligus esai dan puisi, Andi Asrawaty mampu menulis ketiganya dan menyatukan dalam kanvas yang indah. Seindah pelangi. (S. Gegge Mappangewa, Penulis novel best seller LONTARA RINDU) “Tulisan Andi Asrawaty mengubah hal-hal kecil dalam keseharian menjadi gagasan yang besar. Untaian kata yang tersaji memberikan pelajaran yang unik dan pengalaman batin tersendiri. Buku yang menggelitik pemikiran, mencerahkan jiwa. Selamat, semoga tulisannya menbawa berkah” (Karmila Mokoginta, S.S.,M.Hum.,M. Arts., Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin ) Saya yakin, kumpulan kata-kata indah dalam “pelangi kata” adalah sebuah pembacaan panjang seorang Andi Asrawaty pada sepotong masa emas ketika menjadi “mahasiswa”. Bukan saja berhasil mengeja banyak kata kunci dalam hidup, penulis juga berhasil mengungkap  makna yang mungkin belum pernah hadir mewarnai  pandangan pada satu warna yang kita nikmati selama ini. Sungguh, tulisan

Sebuah SMS

Ketika tubuh tergeletak tak berdaya, ada sebuah impresi paling romantis.... Di mana akal sehat dan hati akan tunduk bersimpuh,  bahwa kita benar-benar tak mampu tanpa-Nya.. Sepotong puisi untuk seorang teman , maaf aku tidak punya obat menyembuhkanmu...

Pertemuan

Adakah setetes air mampu menyisakan setitik bekas pada batu hingga suatu hari dia akan berlubang, hingga suatu ketika ia akan pecah... Sebuah pertemuan mengingatkanku pada kemungkinan-kemungkinan, yang rasanya tidak mungkin, tapi, apa yang tidak bisa dilakukan Allah, kita semua memiliki kesamaan, kau tahu apa yang membedakan kita, Yah, kau benar, ketaqwaan kita pada Allah,,,

Perbincangan dengan Ummi

Hari itu sebelum berangkat lagi ke Makassar, aku tahu Ummi kembali sedih, aku harus pergi lagi. Ummi sakit, tidak terlalu parah, tapi setiap kena air Ummi kedinginan, bahkan kakinya katanya panas, seperti terbakar, Alhamdulillah Ummi masih bisa jalan, diagnosa dokter Ummi rematik. Tapi karena kesibukan kantor, Ummi belum sempat berobat lagi. hm... Kalau aku ke Makassar maka pekerjaan rumah tangga yang biasanya kukerjakan akan dikerjakan lagi oleh Ummi, memasak, cuci piring, membersihkan rumah, mencucenti pakaian, semua rutinitas itu, Pila terkadang membantu, tapi ah, usianya masih sangat kecil 9 tahun. Tubuhnya saja yang bongsor, tapi pikirannya tentu saja masih sangat kekanakan, hingga sebagian besar pekerjaan rumah setelah kepergianku akan ditanggung oleh Ummi. Kalau ada aku paling tidak Ummi bisa beristirahat total dari segala aktivitas itu. Tapi tentu saja bukan itu yang membuat Ummi sedih, aku harus pergi. Aku tahu kalau aku jauh dari Ummi, Ummi selalu akan menghawatirkan dan

Merasakan Sejuknya Rangkaian Sastra Aida Radar

(Resensi Kumpulan Cepen dan Puisi Wanita Iam dan Lelaki Cahaya) Sebagai sobat Aida untuk ungkapan rasa bahagia dan selamat atas terbitnya buku ini... :) “Dunia sastra itu kering kerontang” Begitulah pernyataan Benny Arnas dalam sebuah diskusi kepenulisan yang saya datangi. Yah, ada benarnya. Saat ini, posisi sebuah karya sastra ditengah-tengah kondisi masyarakat sebagai hiburan belaka, bahkan tak jarang dipandang sebelah mata. Maka setiap karya sastra yang terbit, rasanya bagai merasakan semilir angin  yang berhembus di tengah kondisi yang kering kerontang itu, apatah lagi jika karya sastra tersebut benar-benar mampu membawa sebuah pesan yang akan mengikat kita pada janji. Maka kumpulan cerpen dan puisi yang diabadikan Aida menjadi salah satu angin sejuk pada dunia kesusastraan yang kering kerontang. Entah apa yang terjadi pada generasi saat ini, tradisi keilmuan yang digambarkan oleh para pendahulu berangsur pudar, hal ini sejala

The Impact of Pragmatism on Education in "The Gap" play by Eugene Ionesco (My Thesis Title)

Beberapa minggu lalu, seperti biasa menelpon Ummi. Mengabarkan segala sesuatu. Menurutku, komunikasi dengan orang tua tentu saja harus selalu dibangun. Tentang apa pun itu. Aku mencoba empati, pasti Ummi selalu khawatir dengan anak-anaknya, terkadang memikirkannya hingga larut malam, apa lagi jika tidak ada kabar. Aku saja, jika aku mendapati  HP Ummi ataupun Etta yang tidak aktif, akan merasa cemas dan berusaha menghubungi. Apa tah lagi mereka? Satu hal yang paling tidak ingin kulakukan adalah menambah beban orang tua, jadi mengabari segala perkembangan, keberhasilah, cita-cita adalah sebuah hal yang wajib. Apa lagi meminta doa... Akh, bukankah doa dari orang tua itu yang menjadi pelumas untuk  melancarkan segala apa yang kita usahakan, menjadi pertimbangan Allah untuk meridoi kita dan juga menjadi semacam pemompa semangat yang tidak tampak oleh mata... Yah, beberapa minggu lalu aku menghubungi Ummi... Kukabarkan semuanya, tentang kulliah, tentang dakwah, tentang rumah,

Puisi Jeruji Besi

Malam ini mataku tak sanggup terpejam... Entah untuk yang kesekian kalinya... Aku tak pernah bermimpi melihatmu menangis Tapi, bagaimanapun di wajahmu ada gundah yang tak bisa kau tutupi dariku. Ingis rasanya menembus malam, angin, gelap, pintu, jarak dan jeruji besi  Lalu memelukmu dengan hangat Tapi tubuhku terpenjara oleh dimensi jasat yang terbatas Maka malam ini aku berharap doa yang kupanjatkan denjadi selimut bagimu Semoga engkau tetap tegar melebihi karang Pun berjuta bait puisi yang coba kurangkai  tak akan pernah bisa menggambarkan kerinduanku Ingin rasanya mendobrak segalanya, menculikmu dari hukum yang tak pantas menjeratmu... Ingin kutebus semua, tapi dengan apa? Tapi, aku lupa, ini bukan hanya persoalan pantas dan tidak.. Ini soal takdir... Apa yang bisa kulakukan selain menulis puisi dan memanjatkan doa... Maaf tak bisa kuberikan hal lebih, bukan tak bisa, tapi aku tak mampu Saat mereka datang memberimu sekeranjang bunga, aku hanya datang memb

Memutus Polemik Plagiarisme Kesusastraan Indonesia

                     Sastra akan selalu menarik untuk dibicarakan, namun ternyata tidak mudah untuk didefenisikan sastra, “We all know what we mean by literature even we cannot define it” begitu kira-kira pernyataan Hazard Adams dalam bukunya The Interest Of Criticism [1]  kita semua mengetahui apa yang dimaksud sastra namun tidak dapat mendefenisikannya secara tepat. Maka wajar jika dikalangan para teoritikus sastra terdapat perbedaan-perbedaan dalam menilai sebuah karya sastra, Teoritikus datang membawa teorinya dengan menantang teoritikus sebelumnya. Plato dan Aristotles menjadi sebuah bukti nyata akan pertentangan tersebut. Maka melihat potensi penafsiran yang berbeda tersebut, tidak heran jika berbicara mengenai plagiarisme karya sastra pun akan ditemui penafsiran serta dakwaan yang berbeda terhadap orisinalitas sebuah karya sastra. Episode Kasus Plagiarisme Sastra di Indonesia             Menurut kamus besar bahasa Indonesi