Pengemban dakwah, pasti selalu ada yang
berbeda. Yah, sangat berbeda. Penampakan, dari segi penampilannya saja,
para pengemban dakwah tentunya punya style tersendiri. Dan tentunya
style yang syar’i, sesuai dengan isi Al-Quran dan dijelaskan lebih
lanjut oleh As-sunnah untuk memperjelas hukumnya. Memang kemudian ada
perbedaan pendapat antara para ulama. Namun, itu adalah perbedaan furu
atau cabang, dan tentu saja perbedaan itu adalah sunnatullah. Semua
tergantung bagaimana kita menghadapi perbedaan. Yah, susah juga sih
menyatukan persepsi di dunia Islam saat ini, tanpa adanya pemimpin
(Khalifah), pemimpin kaum muslimin diseluruh dunia sebagai pelaksana
syariat-Nya. Heran yah, agama Nasrani aja punya paulus, kalo islam?
Bagi saya peribadi, perbedaan pendapat itu bukan untuk diperdebatkan
bukan, tapi untuk dilaksanakan. So, untuk para Ikhwan dan Akhwat,
silahkan tunjukkan style yang paling fashionable bagi kalian, dan tentunya bagi seorang pengemban dakwah ukuran fasionable tidak kabur, semuanya jelas kok dalam Al-Quran dan Hadis. So, performance seorang
pengemban dakwah setelah mengetahui, mengkaji dan memperbandingkan
perbedaan antara masing-masing mazhab, pasti ada yang di hati lebih pas
dan syar’i. Tafaddal untuk berkreasi, yang penting, kita-kita punya landasan yang jelas. Ngak sekedar Taqlid alias
ikut-ikutan. Dan tentunya generasi Islam bukan pembebek, tapi seorang
revolusioner, mengikuti sang Revulusioner sejati, walupun tidak mungkin
sama, tapi paling tidak kita sudah melakukan segala usaha untuk
mengikuti sunnah Rasulullah, untuk tunduk kepada hukum sang pencipta.
Allah SWT.
Saya jadi ingat sebuah kisah, beberapa kali terjadi, saat itu saya sedang berjalan menyusuri koridor kampus bersama sahabat saya, partner dakwah, tempat diskusi, tempat curhat.
Seorang ikhwan dengan janggot tipisnya lewat dengan celananya yang di atas mata kaki lewat di depan kami. Kami kemudian saling memandang, sebuah bahasa tatapan. Hanya kami yang mengerti. Lalu menggeleng-geleng.
“Liat deh, subhanallah saya kagum dengan orang-orang yang berani untuk bertindak berbeda, pasti deh dengan celana yang cingkrang seperti itu mereka akan terlihat persis seperti orang dari planet mana, gitu… Tapi mereka tetap kekeh dengan penampilannya seperti itu.” Kata sahabatku memulai diskusi.
Yups, kasihan. Memang peradaban yang satu dengan peradaban yang lain tidak bisa disandingkan Ukh, sistem jahiliyah moderen ini sungguh jahat. Yang sunnah terlihat out of date sedang yang biasa-biasa saja bahkan yang haram, malah jadi tren masa kini. Para Ikhwan yang pake celana di atas mata kaki karena sunnah rasul, jadi makhluk aneh dengan gelar sang “celana kebanjiran” dan tidak jarang disangka teroris, Innalillah. Sedang para akhwat (perempuan) tapi memakai rok yang berada di atas lutut, sah-sah saja dan bahkan keren… Ya ampun, Agama islam dengan segala anjurannya yang mulia telah dipuatar balikkan oleh media, dibiarkan merasuk ke pikiran kita sebagai “sesuatu” yang aneh. Sedangkan sesuatu yang haram kemudian dikomersilkan dan orang-orang bangga terhadapnya.” Kataku mengomentari plus prihatin dengan kondisi pengemban dakwah yang asing.
“Bener-bener, jadi jelas sudah sistem yang satu dengan sistem yang lain tidak bisa disandingkan sistem buatan manusia (demokrasi yang tidak demokratis) dan sistem Islam yang mulia buatan Allah sang pencipta (bukan otoriter, bukan demokrasi tapi Islam dengan sisi kedemokratisannhya). Ingat, bukan Islam yang melebur kedalam demokrasi, tapi demokrasi lah harus mengikuti syari’at Allah, dan bukan demokrasi tapi Islam yang demokratis..” Jawabnya menambahkan analisis…
Eh, kita ini kasihan dengan orang lain. Kita juga aneh lagi, katanya kayak ibu-ibu.
Hehe, kami tertawa, sambil memperhatikan Jilbab (baju gamis) serta kerudung kami yang bersar menutupi dada. :)
*Informasi:
Perlu diketahui bahwasanya celana di atas mata kaki adalah sunnah dan ajaran Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal ini dikhususkan bagi laki-laki, sedangkan wanita diperintahkan
untuk menutup telapak kakinya. Kita dapat melihat bahwa pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berada di atas mata kaki sebagaimana dalam keseharian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Al Asy’ats bin Sulaim, ia berkata :
سَمِعْتُ عَمَّتِي ، تُحَدِّثُ عَنْ عَمِّهَا قَالَ :
بَيْنَا أَنَا أَمْشِي بِالمَدِيْنَةِ ، إِذَا إِنْسَانٌ خَلْفِي يَقُوْلُ
: « اِرْفَعْ إِزَارَكَ ، فَإِنَّهُ أَنْقَى» فَإِذَا هُوَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ
إِنَّمَا هِيَ بُرْدَةٌ مَلْحَاءُ) قَالَ : « أَمَّا لَكَ فِيَّ
أُسْوَةٌ ؟ » فَنَظَرْتُ فَإِذَا إِزَارَهُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ
Saya pernah mendengar bibi saya menceritakan dari pamannya yang
berkata, “Ketika saya sedang berjalan di kota Al Madinah, tiba-tiba
seorang laki-laki di belakangku berkata, ’Angkat kainmu, karena itu akan lebih bersih.’ Ternyata orang yang berbicara itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata,”Sesungguhnya yang kukenakan ini tak lebih hanyalah burdah yang bergaris-garis hitam dan putih”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai teladan?” Aku melihat kain sarung beliau, ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Muhammadiyyah, hal. 69, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Beliau katakan hadits ini shohih)
Dari Hudzaifah bin Al Yaman, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang salah satu atau kedua betisnya. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هَذَا مَوْضِعُ الإِزَارِ فَإِنْ أَبِيْتَ فَأَسْفَلَ فَإِنْ أَبِيْتَ فَلاَ حَقَّ لِلإِْزَارِ فِي الْكَعْبَيْنِ
“Di sinilah letak ujung kain. Kalau engkau tidak suka, bisa
lebih rendah lagi. Kalau tidak suka juga, boleh lebih rendah lagi, akan
tetapi tidak dibenarkan kain tersebut menutupi mata kaki.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Al Muhammadiyyah, hal.70, Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shohih)
Dari dua hadits ini terlihat bahwa celana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
selalu berada di atas mata kaki sampai pertengahan betis. Boleh bagi
seseorang menurunkan celananya, namun dengan syarat tidak sampai
menutupi mata kaki. Ingatlah, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai teladan terbaik bagi kita dan bukanlah professor atau doctor atau seorang master yang dijadikan teladan. Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ
كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab [60] : 21)
Menjulurkan Celana Hingga Di Bawah Mata Kaki
Perhatikanlah hadits-hadits yang kami bawakan berikut ini yang sengaja
kami bagi menjadi dua bagian. Hal ini sebagaimana kami ikuti dari
pembagian Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’ padaBab Satrul ‘Awrot.
Pertama: Menjulurkan celana di bawah mata kaki dengan sombong
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ
“Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaianya dalam keadaan sombong.” (HR. Muslim no. 5574).
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الَّذِى يَجُرُّ ثِيَابَهُ مِنَ الْخُيَلاَءِ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya orang yang menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” (HR. Muslim no. 5576)
Masih banyak lafazh yang serupa dengan dua hadits di atas dalam Shohih Muslim.
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari
kiamat nanti, tidak dipandang, dan tidak disucikan serta bagi mereka
siksaan yang pedih.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tiga kali perkataan ini. Lalu Abu Dzar berkata,
خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ
“Mereka sangat celaka dan merugi. Siapa mereka, Ya Rasulullah?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Mereka adalah orang yang isbal, orang yang suka
mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya
dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim no. 306). Orang yang isbal (musbil) adalah orang yang menjulurkan pakaian atau celananya di bawah mata kaki.
Kedua: Menjulurkan celana di bawah mata kaki tanpa sombong
Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِى النَّارِ
“Kain yang berada di bawah mata kaki itu berada di neraka.” (HR. Bukhari no. 5787)
Dari hadits-hadits di atas terdapat dua bentuk menjulurkan celana dan
masing-masing memiliki konsekuensi yang berbeda. Kasus yang pertama
-sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu Umar di atas- yaitu menjulurkan
celana di bawah mata kaki (isbal)
dengan sombong. Hukuman untuk kasus pertama ini sangat berat yaitu
Allah tidak akan berbicara dengannya, juga tidak akan melihatnya dan
tidak akan disucikan serta baginya azab (siksaan) yang pedih. Bentuk
pertama ini termasuk dosa besar.
Kasus yang kedua adalah apabila seseorang menjulurkan celananya tanpa
sombong. Maka ini juga dikhawatirkan termasuk dosa besar karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam perbuatan semacam ini dengan neraka.
Perhatikan bahwasanya hukum di antara dua kasus ini berbeda. Tidak bisa kita membawa hadits muthlaq dari Abu Huroiroh pada kasus kedua ke hadits muqoyyad dari
Ibnu Umar pada kasus pertama karena hukum masing-masing berbeda. Bahkan
ada sebuah hadits dari Abu Sa’id Al Khudri yang menjelaskan dua kasus
ini sekaligus dan membedakan hukum masing-masing. Lihatlah hadits yang
dimaksud sebagai berikut.
إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ وَلاَ حَرَجَ –
أَوْ لاَ جُنَاحَ – فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا كَانَ
أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِى النَّارِ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ
بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ
“Pakaian seorang muslim adalah hingga setengah betis. Tidaklah
mengapa jika diturunkan antara setengah betis dan dua mata kaki. Jika
pakaian tersebut berada di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka.
Dan apabila pakaian itu diseret dalam keadaan sombong, Allah tidak akan
melihat kepadanya (pada hari kiamat nanti).” (HR. Abu Daud no. 4095. Dikatakanshohih oleh Syaikh
Al Albani dalam Shohih Al Jami’ Ash Shogir, 921)
Jika kita perhatikan dalam hadits ini, terlihat bahwa hukum untuk kasus pertama dan kedua berbeda.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa jika menjulurkan celana tanpa
sombong maka hukumnya makruh karena menganggap bahwa hadits Abu
Huroiroh pada kasus kedua dapat dibawa ke hadits Ibnu Umar pada kasus
pertama. Maka berarti yang dimaksudkan dengan menjulurkan celana di
bawah mata kaki sehingga mendapat ancaman (siksaan) adalah yang
menjulurkan celananya dengan sombong. Jika tidak dilakukan dengan
sombong, hukumnya makruh. Hal inilah yang dipilih oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan Riyadhus Shalihin, juga merupakan pendapat Imam Syafi’i serta pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Abdullah Ali Bassam di Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom -semoga Allah merahmati mereka-.
Namun, pendapat ini kurang tepat. Jika kita melihat dari hadits-hadits
yang ada menunjukkan bahwa hukum masing-masing kasus berbeda. Jika hal
ini dilakukan dengan sombong, hukumannya sendiri. Jika dilakukan tidak
dengan sombong, maka kembali ke hadits mutlak yang menunjukkan adanya
ancaman neraka. Bahkan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri dibedakan hukum
di antara dua kasus ini. Perhatikan baik-baik hadits Abu Sa’id di
atas: Jika
pakaian tersebut berada di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka.
Dan apabila pakaian itu diseret dalam keadaan sombong, Allah tidak akan
melihat kepadanya (pada hari kiamat nanti). Jadi, yang menjulurkan celana dengan sombong ataupun tidak, tetap mendapatkan hukuman. Wallahu a’lam bish showab.
Sumber *Informasi: Kopas dari http://ustadzkholid.com/tanya-ustadz/fiqih-tanya-ustadz/isbal-tanpa-bermaksud-sombong/
Komentar