Langsung ke konten utama

Aku dan Kakak, Tigabelas Tahun yang Lalu

Merindukan tiba-tiba moment itu bersama kanda: 13 tahun yang lalu, saat itu usia kakak 12 tahun, aku 8 tahun, kakak duduk di kelas 6, dan aku masih kelas 2 eSde...  Waktu itu Pila dan Aan masih belum lahir, kami pikir kami hanya dua bersaudara. Hehe, Oia, waktu itu Kami pergi bersama ke area permandian (tempat yang selalu disukai anak-anak) tempatnya cukup jauh dari rumah, sangat jauh malah.

Kami naik sepeda, aku duduk pada tiang sadel depan sepeda, kadang-kadang kalau  sudah capek, aku berpindah ke belakang berdiri pada pijakan yang mengantarai ban. Menegang bahu kakak. Lalu merasai angin menerbangkan rambutku, kakak kadang ngebut... Aku menikmatinya... Sambil menutup mata. Kadang-kadang kalau laju sepedanya biasa saja aku membentangkan tangan... Serunya....

Walau pun setelah pulang. Kami akan kena marah oleh Ummi, dua anak kecil pergi ke tempat jauh. Dan kau tahu siapa yang akan disalahkan, tentu saja kakak. Ummi selalu saja menghawatirkanku di manapun aku berada, aku memang tidak pernah jauh darinya. Aku yang selalu sakit- sakitan diperlakukan seperti barang yang sangat rapuh, Ummi sangat menjagaku, hati- hati dengan penuh kasih sayang. Hal itu yang membuat kakak selalu cemburu padaku. Jika ada makanan yang enak Ummi pasti selalu menyimpankan untukku dan menyembunyikannya untuk kakak.

Kakak laki-laki katanya, tubuhnya pun sehat. Aku sakit-sakitan, susah makan, jadinya semua untukku. Jadi kakak selalu saja menggangguku, mengataiku kecil, mengejekku jelek, atau sekedar menarik rambutku lalu berlari. Cemburu tentu saja. Haha... Dan kau tahu, aku akan berteriak sangat kencang, hingga mungkin semua tetangga mendengar teriakanku. Dan tada... Ummi datang, membawa kayu. Kakak sudah lari terlebih dahulu, sambil mengejekku. Tangisku semakin menjadi, lalu aku yang kena pukul. Hm,,, peristiwa itu terjadi hampir setiap hari, bertengkar, tidak ada hari tanpa bertengkar. 

Kadang-kadang juga kami bertengkar di depan tv, kakak ingin menonton sepak bola, sedangkan aku ingin memonton kartun kesayanganku. Kakak memegang remot tv, dan aku di tombol tv. Awalnya kami akur saja, tapi lama-kelamaan, saat film kartunnya sementara seru-serunya kakak memencet remot sesuka hati. Aku akan kembali memindahkan channel ke film kartunku, lalu menatapnya sinis. Kakak memencet remot lagi, aku tak mau kalah, bersikukuh memencet tombol lagi dengan jengkel. Kakak tidak mau kalah, tanpa perasaan bersalah memindahkannya lagi, begitu terus-menerus, berulang-ulang sampai aku capek sendiri dan. Tut... Televisinya mati. Mataku sudah berkaca-kaca. Kakak mendekat, mengetok kepalaku. Gara-gara kamu sih, televisinya rusak! Tak tertahankan lagi, tangisku pecah, suaraku siap memecahkan gendang telinga....

Aku sangat kesal, kakak beranjak pergi begitu saja. Aku emosi, kuambil saja secara serampangan benda terdekat dariku, lalu kulemparkan pada kakak. Ternyata benda yang kulemparkan itu gunting, mengenai tepat mata kaki kakak, kakak meringis kakinya berdarah. Saat itu ibu datang dengan wajah merah padam, bagaimana tidak marah, ibu sementara memasak untuk kami, bukannya membantu, kami  malah sibuk bertengkar sedemikian rupa. Melihat kaki kakak yang berdarah, ibu menahan amarah lalu membalut kaki kakak. Melihat ibu mengobatinya aku yang meringis. Menatap iba pada kakak. Namun tidak jadi, tatapanku berubah kesal pada saat kakak memelototiku, sambil mulutnya berkomat-kamit tanpa suara, takut terdengar ibu "Tunggu pembalasanku" katanya sambil mengepalkan tinju.

Tapi ibu segera menyadari ketegangan kami kembali.
"Belum puas bertengkar, kalian ini seperti kucing dan tikus, tidak pernah akur."
"Kalian tidak malu dengan tetangga, tidak kasihan pada ibu?" Kami terdiam tertunduk.
"Nak, tv itu tidak murah harganya, Kamu Rul, kamu sudah besar sudah seharusnya kamu mengalah pada adik, lihat adikmu kecil begitu, sakit-sakian, seharusnya kamu menyayanginya."
"Kamu, Ra, kalau tidak begitu sakit tidak usah menangisnya sampe berteriak-teriak gitu, semua tetannga mendengar, sampai lempar kakak pula, untung kakak tidak apa-apa. Kalau celaka bagaimana?" Kata ibu sambil memandangi aku dan kakak bergantian.
"Bisa tidak nak, kalian sehari saja tidak bertengkar, tidak selamanya kalian selalu sama-sama, pada suatu hari kalian akan berpisah, punya kehidupan sendiri. Lalu saling merindukan."
"Nak, ibu tidak menuntut apa-apa dari kalian cukup kalian akur."
"Ra, sini!" Aku mendekat hati-hati masih sengungukan, minta maaf sama kakak."
"Asrul juga, minta maaf sama ade"
"Kakak, ade minta maaf." Kataku takut-takut melihat matanya"
"Ia, kakak maafkan, maaf juga" Katanya cuek, tanpa melihat ke arahku"
Ibu tersenyum, memeluk kami kemudian. "Untung Etta sedang tidak di rumah, bisa-bisa kalian kena marah seharian."

Dan tigabelas tahun telah berlalu. Kakak sudah dengan kehidupannya sendiri. Setelah tamat eSeMa. Kakak berangkat ke kendari. Ikut bersama om, mendaftar menjadi polisi. Aku girang, artinya tidak akan ada lagi yang menggangguku. Yah, tigabelas tahun berlalu, kakak sudah menggapai cita-citanya, menjadi pak Polisi. Aku masih ingat lagi, tiga belas tahun yang lalu kakak yang nakal mengambil senjata om Akbar (polisi yang tingal di rumah) saat beliau tidak di rumah. Kakak yang nakal masuk ke kamarnya, mengambil pistol , tak ketinggalan borgol lalu memakai topi polisi... Huf,,, untung pistol itu tak berpeluru. Kalau tidak, mungkin nyawaku sudah melayang. Kami bermain polisi dan penjahat, aku menjadi penjahat. Kakak polisinya, dengan topi polisi yang kebesaran, sesekali menutupi dahi dan matanya. Aku penjahat, berakting jatuh kena tembak dan kakak akan memborgol tanganku. Dan aku selalu lepas, karena seberapa pun kakak, mempersempit borgolnya pergelangan tanganku jauh lebih kecil, aku selalu lepas... Kakak kembali mengejarku... Namun yah, selalu saja, jika aku bermain dengan kakak titik endingnya pasti akan selalu diakhiri dengan tangisanku yang fenomenal.

Kini tiga belas tahun telah berlalu, adikmu telah tumbuh dewasa. Tenang, kalau nangis tidak bising lagi, tidak akan lagi melemparkan gunting pada kakak saat marah.  Kakak tidak akan bisa lagi menarik rambutku, hehe... Aku sudah pakai kerudung. Kakak tidak usah marah lagi, sekarang kalau dibonceng pakai motor,  karena memakai jilbab aku duduk style perempuan yang selalu kakak suruh. Dan bisa menulis tentang kisah-kisah lucu yang tidak akan pernah terlupa...

Kakak sudah menikah dan punya anak. Menetap di Lassu-sua. Kolaka  Utara. Sebuah kota kecil yang tidak terlalu ramai, tapi cukup indah menurutku. Kakak menikah pada saat aku masih di semester dua. Aku sempat ngambek, merasakan kakakku direbut, uang kirimanku akan berkurang, dan lain hal. Sampai akhirnya kau sadar, kakak akan terus menjadi kakakku. Sampai kapan pun, hari ini aku rindu kakak...  Benar kata Ummi, ada saatnya kita berpisah, dan ada saatnya saling merindukan. Dan kenangan itu akan menjadi obat rindu yang paling mujarab setelah pertemuan. Sesekali akan membuat kita tertawa. Kakak masih ingat bukan? Aku rindu kakak. Oia, kakak juga sudah punya anak.. Haha, kakak sudah jadi bapak-bapak. Tunggu, berarti aku sudah jadi tante-tanten dong yah... Hehe, Aku suka itu, tiga belas tahun yang lalu kakak masih remaja tanggung yang  hobinya mengangguku. Sekarang kakak seorang ayah yang penuh tanggung jawab. Aku bangga pada kakak.

Awal Februari, merindukan Kakak...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Kecil Untuk Diriku...

Dalam perjalanan hidup, terkadang kita terlalu banyak memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak akan terjadi. Pikiran-pikiran negatif, perasaan-perasaan yang tidak seharusnya. Pikiran dan perasaan itu lalu menumpuk, bagaikan benang kusut yang kita tidak pernah tahu, bagaimana dan kapan akan berakhir. Pada titik itu, kita dilanda depresi. Suatu hal yang sebenarnya ilusi yang kita ciptakan sendiri. Jika berada di titik itu, tariklah nafas. Terima keadaan, terima dirimu, dan selalu yakin bahwa Allah selalu ada, dimanapun dan bagaimanapu  kondisi kita. Berikan waktu untuk diri, mulaikah pikirkan hal-hal yang baik dan indah, tentang semua hal yang kita lewati, tentang semua rintangan yang telah kita hadapi. Singkirkan satu persatu kecemasan yang tidak semestinya. Mulailah membuat impian, pikirkan langkah-langkah kecil yang akan membuat semuanya menjadi lebih indah. Jika terdapat hambatan, yakinlah itu hanya ujian untuk membuatmu semakin kuat. Membuat cerita dalam perjalanan hidupmu ak

Merayakan Aksara dalam Dekapan Keindahan Banggai

Luwuk , saya telah lama mendengar nama kota ini, adalah ibukota kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Beberapa sanak saudara saya, merantau dan akhirnya menetap di sana, pun mertua saya pernah menetap beberapa tahun di salah satu kacamatan di Banggai . Setiap mereka pulang ke kampung halaman, oleh-oleh berupa ikan asin dan cumi kering menjadi makanan yang selalu kami tunggu, hal tersebut membuktikan bahwa potensi kekayaan bahari Banggai begitu melimpah. Hal ini tak mengherankan karena sebagaian besar wilayahnya merupakan lautan yaitu sekitar 20.309,68 km2 dengan garis pantai sepanjang 613,25 km2, tentu saja menyimpan kekayaan bahari yang berlimpah.   Tidak hanya itu wilayah daratanya dengan luas 9.672,70 km2, dengan keanekaragaman tipografi berupa pegunungan, perbukitan dan dataran randah. Tanahnya menyimpan kesuburan, berbagai buah-buahan dapat tumbuh subur ranum. Bulan kemarin saya bahkan mendapat kiriman buah naga dan salak yang sangat manis dari saudara di Luwuk .  Da

Cenning Rara

Di luar angin berhembus pelan, namun menipkan udara dingin hingga menembus sumsum tulang rusuk, masuk lebih dalam menghujam hati.  “Ibu, aku begitu rindu, sangat. Namun, apakah aku mampu untuk pulang? Ibu, bisakah aku mengatakan tidak. Haruskah aku kembali menghianatimu.  “Maaf Mak.” Uleng memendang bulan, air mata jatuh, menganak sungai. Hatinya tersandra dilema. Andi Cahaya Uleng, nama yang indah seindah artinya, cahaya bulan. Namun sayang, malam ini, untuk kesekian kalinya, hatinya dilanda prahara.  Yah, setiap kali rencana penghianatan menuntut dan berontak dibenaknya, bayangan cinta itu selalu hadir, membelai, menghangatkan, menenangkan. Bayangan cinta itu, yang tidak akan pernah pergi dari benaknya, bahkan nama yang indah itu juga pemberian cinta dari sang Ibu yang disapanya “Emmak”. Bayangan Emmak setia datang menemani, bahkan saat Emmak jauh. Aura cinta Emmak tak pernah pudar, bahkan semakin terasa. Angan-angan Uleng melambung jauh. Lagi, merasakan cinta tak bersyarat Emmak. Ya