Langsung ke konten utama

Puisi Jeruji Besi

Malam ini mataku tak sanggup terpejam...
Entah untuk yang kesekian kalinya...
Aku tak pernah bermimpi melihatmu menangis

Tapi, bagaimanapun di wajahmu ada gundah yang tak bisa kau tutupi dariku.
Ingis rasanya menembus malam, angin, gelap, pintu, jarak dan jeruji besi 
Lalu memelukmu dengan hangat

Tapi tubuhku terpenjara oleh dimensi jasat yang terbatas
Maka malam ini aku berharap doa yang kupanjatkan denjadi selimut bagimu
Semoga engkau tetap tegar melebihi karang

Pun berjuta bait puisi yang coba kurangkai  tak akan pernah bisa menggambarkan kerinduanku
Ingin rasanya mendobrak segalanya, menculikmu dari hukum yang tak pantas menjeratmu...
Ingin kutebus semua, tapi dengan apa?
Tapi, aku lupa, ini bukan hanya persoalan pantas dan tidak..
Ini soal takdir...

Apa yang bisa kulakukan selain menulis puisi dan memanjatkan doa...
Maaf tak bisa kuberikan hal lebih, bukan tak bisa, tapi aku tak mampu
Saat mereka datang memberimu sekeranjang bunga, aku hanya datang membawa senyum
Saat mereka datang memberi kekuasaan, aku datang untuk membuatmu tunduk pada kuasa-Nya
Saat mereka datang memberimu tertawa lepas, aku  malah memancing air matamu

Dan, ketika mereka mendekapmu erat, maka aku hanya mampu melihatmu dari jauh
Saat mereka membawamu, aku hanya bisa diam..
Masih memanjatkan doa tanpa henti, semoga hatimu tertinggal padaku

Doa... Cinta... Biarlah dia menyatu, bersaksi di hadapan Rabb,
Masih berharap ia menemukan muaranya untukmu..
Karena aku yakin, walaupun seribu besi mengungkungmu,
Dengan seulas senyum tulus, dan semua besi itu akan melumer..
Dan doa tanpa henti akan membuat hatimu pulang ke tempat yang seharusnya....


Untuk Yayang
Uhtihabibukifillah
Kau saudari yang paling tegar yang pernah kutemui
Aku tahu kau akan membawa hatimu ke tempat yang benar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Kecil Untuk Diriku...

Dalam perjalanan hidup, terkadang kita terlalu banyak memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak akan terjadi. Pikiran-pikiran negatif, perasaan-perasaan yang tidak seharusnya. Pikiran dan perasaan itu lalu menumpuk, bagaikan benang kusut yang kita tidak pernah tahu, bagaimana dan kapan akan berakhir. Pada titik itu, kita dilanda depresi. Suatu hal yang sebenarnya ilusi yang kita ciptakan sendiri. Jika berada di titik itu, tariklah nafas. Terima keadaan, terima dirimu, dan selalu yakin bahwa Allah selalu ada, dimanapun dan bagaimanapu  kondisi kita. Berikan waktu untuk diri, mulaikah pikirkan hal-hal yang baik dan indah, tentang semua hal yang kita lewati, tentang semua rintangan yang telah kita hadapi. Singkirkan satu persatu kecemasan yang tidak semestinya. Mulailah membuat impian, pikirkan langkah-langkah kecil yang akan membuat semuanya menjadi lebih indah. Jika terdapat hambatan, yakinlah itu hanya ujian untuk membuatmu semakin kuat. Membuat cerita dalam perjalanan hidupmu ak

Merayakan Aksara dalam Dekapan Keindahan Banggai

Luwuk , saya telah lama mendengar nama kota ini, adalah ibukota kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Beberapa sanak saudara saya, merantau dan akhirnya menetap di sana, pun mertua saya pernah menetap beberapa tahun di salah satu kacamatan di Banggai . Setiap mereka pulang ke kampung halaman, oleh-oleh berupa ikan asin dan cumi kering menjadi makanan yang selalu kami tunggu, hal tersebut membuktikan bahwa potensi kekayaan bahari Banggai begitu melimpah. Hal ini tak mengherankan karena sebagaian besar wilayahnya merupakan lautan yaitu sekitar 20.309,68 km2 dengan garis pantai sepanjang 613,25 km2, tentu saja menyimpan kekayaan bahari yang berlimpah.   Tidak hanya itu wilayah daratanya dengan luas 9.672,70 km2, dengan keanekaragaman tipografi berupa pegunungan, perbukitan dan dataran randah. Tanahnya menyimpan kesuburan, berbagai buah-buahan dapat tumbuh subur ranum. Bulan kemarin saya bahkan mendapat kiriman buah naga dan salak yang sangat manis dari saudara di Luwuk .  Da

Cenning Rara

Di luar angin berhembus pelan, namun menipkan udara dingin hingga menembus sumsum tulang rusuk, masuk lebih dalam menghujam hati.  “Ibu, aku begitu rindu, sangat. Namun, apakah aku mampu untuk pulang? Ibu, bisakah aku mengatakan tidak. Haruskah aku kembali menghianatimu.  “Maaf Mak.” Uleng memendang bulan, air mata jatuh, menganak sungai. Hatinya tersandra dilema. Andi Cahaya Uleng, nama yang indah seindah artinya, cahaya bulan. Namun sayang, malam ini, untuk kesekian kalinya, hatinya dilanda prahara.  Yah, setiap kali rencana penghianatan menuntut dan berontak dibenaknya, bayangan cinta itu selalu hadir, membelai, menghangatkan, menenangkan. Bayangan cinta itu, yang tidak akan pernah pergi dari benaknya, bahkan nama yang indah itu juga pemberian cinta dari sang Ibu yang disapanya “Emmak”. Bayangan Emmak setia datang menemani, bahkan saat Emmak jauh. Aura cinta Emmak tak pernah pudar, bahkan semakin terasa. Angan-angan Uleng melambung jauh. Lagi, merasakan cinta tak bersyarat Emmak. Ya