Malam ini aku kembali
membuka laptop kesayanganku, laptop yang memberi sejarah tersendiri. Laptop
yang telah menemani perjalanan studiku. Yang paling aku ingat, laptop ini
adalah pembelian Etta, yang kuterima dengan hati yang mengembang bahagia.
Bersamanya telah kutuliskan banyak kenangan, kegembiraan, kesedihan, keresahan,
juga kerinduan, tentang segala hal. Dari laptop sederhana ini aku telah
menyelesaikan tugas akhirku dengan keringat dan air mata, juga banyak
pengorbanan. Malam ini kutuliskan potongan-potongan kata, menghangatkan
tuts-tuts keyboard laptopku yang telah lama kudiamkan. Dan aku larut dengan
kegembiraan dan kesedihan yang lain, lalu melupakannya. Kini aku kembali,
menemaninya, mungkin sebagai rasa terima kasih, juga ungkapan rindu. Telah lama
juga, aku tidak menjalin kata bersamanya. Aku akan memulainya dengan
menceritakan dua perempuan hebat dalam hidupku.
Akan kuawali kisahnya
dengan berbagi kisah tentang kehidupanku yang baru setelah menikah, di sebuah
kota asing, bahkan namanya tak pernah kudengar sekalipu, kota Buol, dengan
orang-orang baru, logat yang berbeda, makanan yang berbeda, hah semuanya
berbeda. Namun, ada yang tidak berbeda, harapan dan keyakinan yang sama
membawaku ke sini, bersama doa orang-orang yang kucintai di seberang langit
Selatan, kota bernama Bone, tempat kelahiranku bersama wajah-wajah yang begitu
aku cintai, juga Makassar, kota di mana aku mengenyam pendidikan, merasakan
manisnya madu pendidikan.
Saat ini, aku merasakan
aroma baru setiap bangun pagi. Bahkan saat hujan tiba, entah merasa aku merasa
selalu ada yang aneh, mungkin khawatir atau gelisah. Tak bisa kusebutkan
perasaan itu. Jelasnya, saat minggu-minggu pertama aku merasakan, setiap hujan
tiba ada perasaan takut, ada perasaan yang muncul, seperti aku melupakan
sesuatu di bawah hujan, entah apa dan aku takut sesuatu itu kehujanan. Perasaan
yang aneh, namun sejalan waktu, walaupun aku masih dapat merasakan perasaan
itu, namun dia telah menghilang, sedikit demi sedikit. Hujan tetap sama, aku
akan kembali menyukainya walau ia membawa hawa dingin yang kadang-kadang
membuat nafasku sesak. Yah, lambat laun mungkin itu adalah perasaan yang muncul
jika kita berada di tempat yang berbeda, suasana yang lain, semacam perasaan
untuk beradaptasi mungkin. Kini, perasaan itu hampir pudar karena kehangatan
rumah ini, ada mama yang begitu sabar mengajariku segala hal. Di sini aku
tinggal bersama mama, etta, dan suamiku. Suamiku anak bungsu, hanya dua
bersaudara kakaknya perempuan yang telah berkeluarga dan memiliki rumah
sendiri, yah jadilah jika Etta dan Suamiku pergi bekerja aku serasa menjadi
anak tunggal. Hanya aku dan Mama. Itupun Mama dan Etta tidak selalu di rumah
ini, Etta memiliki tempat tinggal di desa lain CCM, begitu aku dengar sebuah
perusahaan kelapa sawit, Etta dan Mama mendirikan koprasi di sana, makanya
mereka lebih sering di sana, namun jika hari libur dan telah terima gaji dan
saat-saat tertentu mama dan Etta pulang ke rumah ini.
Yah, Mama, perempuan
yang telah mengandung, melahirkan dan membesarkan suamiku. Perempuan keren,
mama mertua gaul dan baik hati. Mama dengan senang hati mengajariku memasak,
juga segala hal hingga remeh temeh. Mama sabar, juga memberitahuku dengan halus
juga jenaka tentang hal-hal salah yang kulakukan, yah mama orangnya sangat
humoris, berbeda dengan ummi yang kata-katanya dipenuhi kata-kata mutiara. Oh
yah aku tidak bisa membandingkan antara mama dan Ummi, mereka memiliki
kekerenannya masing-masing. Yah, aku memang belum memiliki kemampuan masak yang
mumpuni. Anggap saja ada beberapa alasan pembelaan sehingga aku tidak begitu
lincah di dapur. Sejak kecil aku menderita asma, Ummi juga begitu sayang
padaku, sehingga aku tidak pernah melakukan pekerjaan rumah tangga yang berat,
di rumahku juga selalu ada keluarga perempuan yang tinggal untuk bersekolah,
sehingga aku tinggal tahu semuanya beres. Ummi hanya mengajariku keterampilan dasar,
mencuci baju, cuci piring, menyapu, masak nasi, masak ikan, dan sayur. Hanya
itu, beranjak sekolah ke Makassar, walaupun menunpang di rumah Om, aku pun tak
pernah memasak selain membantu memotong-motong sayuran di dapur, karena Om
memiliki warung makan, jadi makanan telah tersedia. Dan sampai aku menikah, aku
hanya ingat, hanya bisa memasak sayur bening, dan capcai. Memasak ikan masak dan
menggoreng ikan, itupun aku sangat takut menggoreng ikan, di tambah lagi,
semuanya aku lakukan dengan slow motion
kata mertuaku, hehe.
Namun, sungguh Allah
menyayangiku, aku mendapatkan mertua yang baik, yang sangat sabar mengajariku
memasak. Sungguh, budaya masak yang sangat berbeda. Mulai dari pemilihan ikan
saat berbelanja ke pasar, tempat membeli sayur serta rempat yang murah, cara
menjaga kebersihan rumah, sampai cara mengulek. Tapi sungguh ajaran Ummi yang
begitu berharga adalah dasar keimanan yang kuat, tatakrama dan sopan santun,
juga cara membawa diri terhadap suami, mertua bahkan lingkungan. Yah, mungkin
Ummi tidak terlalu banyak mengajariku masak dan lain-lain karena keterampilan
itu dapat dipelajari, namun keterampilan hidup yang telah Ummi ajarkan dengan
sabar dan ikhlas adalah bekal yang sangat langka, yang tidak bisa dipelajari
dengan instan yang telah ummi tanamkan bahkan sejak aku masih dalam rahimnya. I
love you Ummi, I love you Mama, semoga Allah selalu melimpahkan kesehatan serta
kebahagiaan kepada kalian, agar kami anak-anakmu terus saling melengkapi dalam
menjalani rumah tangga dengan restu kalian, dan membawa kebahagian untuk
kalian.
Komentar