Langsung ke konten utama

Menunggu dengan Bahagia

Peran yang baru dalam hidup akan selalu membuat doa-doa semakin bertambah, harapan-harapan semakin subur, usaha dan kerja keras akan semakin meningkat, semua berbanding lurus dengan penantian-penantian yang akan semakin menguras waktu, karena sedang menunggu giliran untuk segera terwujud.

Terlebih menjadi seorang istri, sebuah peran yang sungguh luar biasa. Aku kembali tersadar, untuk kesekian kalinya saat meliat wajah pulas suamiku yang jatuh tertidur karena kelelahan. Udara kesyukuran memenuhi rongga dadaku, air mata ketakziman membasahi pipiku, bahwa Allah telah mempertemukanku dengan lelaki yang akan menemaniku menuju Syurga-Nya, pertemuan yang telah tercatat tiga ribu tahun sebelumnya dalam Lauh Madfuz, sebuah kitab yang berisi takdir manusia. 

Yah, menatap wajahnya lekat-lekat, mengecup keningnya perlahan-lahan, lalu mengusap rambutnya dengan lembut sambil membacakan Al-fatihah, doa penyabar, juga harapan-harapan tentangnya. Menyesali setiap bantahan, mengutuk setiap keluhan yang seharusnya tak kualamatkan padanya walaupun hanya dalam hati. Merenung, lalu menyimpulkan bahwa menjadi patuh tidak hanya membutuhkan cinta dan pemahaman, namun juga kesabaran yang harusnya selalu ditumbuhkan dengan keyakinan bahwa pasangan kita bukanlah Nabi yang sempurna, kalaulah kita menyandingkan kebaikan, pengorbanan, cinta dan kesabaran suami dalam menghadapi kita, istrinya, sungguh sebagai istri alangkah pongahnya kita jika kita tidak menjadi bersabar. Namun bersabar dengan tulus dan menjadi patuh tak semudah mengedipkan mata.

Bersabar bukan berarti menjadi lemah, bersabar adalah bahasa sejatinya cinta, jika ia disertai dengan kesungguhan untuk berusaha menjadi istri yang terbaik, dan istri yang terbaik adalah istri soleha. Dan sungguh pahalanya juga tidak tanggung-tanggung, kita dapat memilih pintu syurga manapun yang kita mau. Seperti sabda Rasulullah, shallallahu'alaihi wasallam

Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya: “Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau”. (HR. Ahmad dari Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany).

Sungguh tidak mudah menjalankan biduk rumah tangga. Walaupun dua jiwa telah dijadikan satu, namun sejatinya kita memang berbeda, menyatukan dua kepala bukan perkara yang mudah, butuh waktu, penyesuaian, juga ilmu. Suami tak selalu harus sejalan dengan pikiran sang Istri, suami malah akan salah jika menuruti semua permintaa istri, pun sebaliknya. Maka sungguh kesadaran akan pentingnya saling membersamai, menasehati, menyayangi dan juga menghormati sebagai pasangan hidup dalam perjalanan menuju ridho dan syurga-Nya adalah kata-kata kunci yang selalu diigat dan realisasikan agar bahtera rumah tangga tetap tangguh melaju di tengah hantaman badai dan gelombang. 

Pasangan kita bukanlah seorang yang sempurna, dalam beberapa hal mungkin seorang istri lebih hebat dari pada sang suami, namun hal tersebut janganlah membuat istri menjadi besar hati lalu jumawa, karena lelaki telah diberikan kelebihan beberapa derajat oleh Allah, dan para istri harus mengakui hal tersebut, bahwa suami kita jauh berada di atas kita dalam berbagai hal, jauh di atas kehebatan yang kita sangka. 

Allah Berfirman:
"Para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya...." (Al-Baqarah: 228).
"Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (Laki-laki) atas sebagian yang lain (Wanita), dan karena mereka (Laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...." (An-Nisa': 34).

Yah, kita dan pasangan adalah dua jiwa dan pikiran yang telah menyatu, dalam proses pendewasaan dan memiliki celah masing-masing. Keberadaan pasangan adalah untuk melengkapi celah, saling menutupi dengan kelebihan masing-masing. Setelah pernikahan akan begitu banyak harapan dan angan yang akan kita bayangkan ada pada pasangan. Namun, perubahan membutuhkan waktu, sehingga terkadang kekecewaan datang dan menjadi udara kering yang menampar harapan. Harapan tentu saja harus selalu bertumbuh, hanya saja kita membutuhkan waktu, bukankah hidup memang tentang menunggu.

Yah, menunggu bukan hanya milik yang seseorang yang sedang menanti jodohnya. Bahkan setelah penantian berakhir karena menemukannya, penantian-penantian baru akan jauh lebih banyak, kita aka menunggu lebih lama. Akhirnya setelah sekian lama, saya mengerti tentang ungkapan yang menyatakan bahwa hidup adalah tentang menunggu. Dan dalam penantian tersebut harusnya kita menikmati tiap menit bahkan tiap detiknya, karena, bahagia bukan hanya tercipta pada saat menuai harapan menjadi nyata, namun sejatinya pada setiap waktu yang telah dianugerahkan pada kita.

Mungkin seperti menunggu kedatangan suami sepulang kerja. Tak perlu kita terlalu risau dan galau jika suami terlambat pulang. Dalam penantian, biasakan bibir kita selalu basah dengan doa untuk keselamatan suami tercinta, juga menyibukkan diri dengan berbagai aktifitas yang bermanfaat dan membuat kita bahagia, tak lupa mempersiapkan kedatangannya dengan riang serta menyambutnya dengan senyum merekah agar lelah sang kekasih menguap berganti ketenangan dan bunga-bunga cinta.

Yakinlah selalu bahwa keberadaan kita adalah sebagai seorang partner hidup yang ditugaskan membantunya dengan cinta, mengubah hal-hal negatif dalam dirinya dengan kasih sayang dan kesabaran yang dipupuk dengan keyakinan bahwa keberadaan kita akan membawanya menuju syurga. Ingatlah selalu kebaikan-kebaikan pasangan. Kesabarannya yang tak bertepi menerima semua kekurangan kita yang tidak pernah dilihat dan dimengerti orang lain, keberadaannya yang selalu menyediakan dada yang lapang juga bahu yang kuat untuk kita bersandar dan berkeluh-kesah,  dengan keyakinannya bahwa dia akan mampu mengantarkan istrinya menuju Syurga...  
..... mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka... (QS. Al-Baqarah:187)



Buol, 5 Mei 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Kecil Untuk Diriku...

Dalam perjalanan hidup, terkadang kita terlalu banyak memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak akan terjadi. Pikiran-pikiran negatif, perasaan-perasaan yang tidak seharusnya. Pikiran dan perasaan itu lalu menumpuk, bagaikan benang kusut yang kita tidak pernah tahu, bagaimana dan kapan akan berakhir. Pada titik itu, kita dilanda depresi. Suatu hal yang sebenarnya ilusi yang kita ciptakan sendiri. Jika berada di titik itu, tariklah nafas. Terima keadaan, terima dirimu, dan selalu yakin bahwa Allah selalu ada, dimanapun dan bagaimanapu  kondisi kita. Berikan waktu untuk diri, mulaikah pikirkan hal-hal yang baik dan indah, tentang semua hal yang kita lewati, tentang semua rintangan yang telah kita hadapi. Singkirkan satu persatu kecemasan yang tidak semestinya. Mulailah membuat impian, pikirkan langkah-langkah kecil yang akan membuat semuanya menjadi lebih indah. Jika terdapat hambatan, yakinlah itu hanya ujian untuk membuatmu semakin kuat. Membuat cerita dalam perjalanan hidupmu ak

Merayakan Aksara dalam Dekapan Keindahan Banggai

Luwuk , saya telah lama mendengar nama kota ini, adalah ibukota kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Beberapa sanak saudara saya, merantau dan akhirnya menetap di sana, pun mertua saya pernah menetap beberapa tahun di salah satu kacamatan di Banggai . Setiap mereka pulang ke kampung halaman, oleh-oleh berupa ikan asin dan cumi kering menjadi makanan yang selalu kami tunggu, hal tersebut membuktikan bahwa potensi kekayaan bahari Banggai begitu melimpah. Hal ini tak mengherankan karena sebagaian besar wilayahnya merupakan lautan yaitu sekitar 20.309,68 km2 dengan garis pantai sepanjang 613,25 km2, tentu saja menyimpan kekayaan bahari yang berlimpah.   Tidak hanya itu wilayah daratanya dengan luas 9.672,70 km2, dengan keanekaragaman tipografi berupa pegunungan, perbukitan dan dataran randah. Tanahnya menyimpan kesuburan, berbagai buah-buahan dapat tumbuh subur ranum. Bulan kemarin saya bahkan mendapat kiriman buah naga dan salak yang sangat manis dari saudara di Luwuk .  Da

Cenning Rara

Di luar angin berhembus pelan, namun menipkan udara dingin hingga menembus sumsum tulang rusuk, masuk lebih dalam menghujam hati.  “Ibu, aku begitu rindu, sangat. Namun, apakah aku mampu untuk pulang? Ibu, bisakah aku mengatakan tidak. Haruskah aku kembali menghianatimu.  “Maaf Mak.” Uleng memendang bulan, air mata jatuh, menganak sungai. Hatinya tersandra dilema. Andi Cahaya Uleng, nama yang indah seindah artinya, cahaya bulan. Namun sayang, malam ini, untuk kesekian kalinya, hatinya dilanda prahara.  Yah, setiap kali rencana penghianatan menuntut dan berontak dibenaknya, bayangan cinta itu selalu hadir, membelai, menghangatkan, menenangkan. Bayangan cinta itu, yang tidak akan pernah pergi dari benaknya, bahkan nama yang indah itu juga pemberian cinta dari sang Ibu yang disapanya “Emmak”. Bayangan Emmak setia datang menemani, bahkan saat Emmak jauh. Aura cinta Emmak tak pernah pudar, bahkan semakin terasa. Angan-angan Uleng melambung jauh. Lagi, merasakan cinta tak bersyarat Emmak. Ya