"Kita Berbeda dalam Semua, Kecuali dalam Cinta"
Kalimat itu adalah kalimat yang sangat membekas dalam penggalam puisi di film Gie yang romantis revolusioner😁
Dulu, saya hanya menikmatinya kalimat itu tanpa mengerti. Bagaimana mungkin kita saling mencintai jika kita berbeda dalam segala?
Tapi, mana juga saya punya waktu memikirkannya saat mahasiswa, toh dulu saya seorang aktivis ideologis (ngaku-ngakunya 😅). Sampai akhirnya saya menikah dan bertemu dengannya... Ehm,
Serius, akhirnya saya mengerti kalimat itu. Saya mungkin salah satu aktivis dakwah yang cukup berani. Memutuskan menikah dengan laki-laki yang bukan aktivis dakwah. Yah, kriteria saya memang tidak muluk-muluk, dia solat dan mencintai Ibuya.
Kami, awalnya dijodohkan, atau mungkin lebih tepatnya dikenalkan namun karena sama-sama jomblo, dan sepertinya memang sudah jodoh, tanpa babibu dan drama yang berlebihan, setelah berkenalan, saling tertarik, bertunangan dan akhirnya menikah.
Dan karena kurangnya drama sebelum pernikahan. Duar. Ledakan-ledakan terjadi. Terkadang ledakan cinta, terkadang heran, terkadang marah. Terlebih saat menyadari kami sangat bertolak belakang. Hampir disegala sisi, mulai dari sifat, karakter, hoby, cara pandang. Oh No
Yah, we are totaly different. Saya ektrovert, dia introvert. Saya sanguin koleris, dia pragmatis melankolis. Saya suka buku, dia suka komputer. Saya suka menulis, dia sukanya menonton. Saya punya banyak teman, temannya bisa saya hitung jari. Saya suka hangout, dia anak rumahan. Saya suka jajan, dia suka makanan rumahan. Saya romantis, dia sudahlah. Terlalu banyak list yang membuat kami berbeda.
Benar sudah kata Gie, kita berbeda dalam segala kecuali dalam Cinta. Akhirnya saya mengerti, mengapa di luar sana banyak artis-artis yang menikah hanya sebentar lalu memutuskan berpisah, walaupun mereka kelihatan bahagia. Saya pula mulai paham, mengapa pernikahan disebut ibadah paling lama.
Pada akhirnya, sebagai pasangan, selain saling mencintai kita harus belajar untuk saling mengerti, memahami, dan saling mengalah.
Di pernikahan kami yang menjelang 6 tahun dengan segala perbedaan, pertentangan dan pertengkaran kami belajar untuk saling menghargai. Untuk mengenal pasangan lebih jauh, bukan memperuncing perbedaan. Namun menganggap perbedaan sebagai sesuatu untuk saling melengkapi.
Untuk mengokohkan cinta, kita harus mampu membaca tanda cinta bukan hanya dari sekadar apa yang didengar, bukan hanya dari apa yang tampak, namun kita harus bisa menyelami perasaan pasangan.
Jangan bilang perempuan sulit dimengerti, bagi perempuan, laki-laki juga sulit dimengerti. Cintanya kadang-kadang tidak terucap, namun tindakannya membuktikan cinta jauh lebih yang diduga. Sayangnya terkadang perempuan menjadi mahluk tidak peka, begitupun sebaliknya.
Saya hoby membaca, beriskusi, suamiku hoby berkebun dan memelihara binatang. Akhirnya kami berkompromi, kami melihat kekurangan kami adalah kelebihan.
Kekurangan suami yang tidak pandai menggombal saya artikan dengan positif. Menggombal istrinya sendiri tidak bisa apalagi menggombal wanita lain.
Nah, itu salah satu contoh berpikir bahagia dan tidak baper. Berpositif thinking terhadap pasangan.
Dengan saling percaya dan menghargai maka cinta akan menjadi kokoh, sebesar apapun perbedaan.
Kebersamaan dan cinta dalam pernikahan akhirnya akan melahirkan sakinah, membawa berkah dalam kehidupan karena ketenangan akan mengalir memanggil pahala dan rezeki Insya Allah.
Buol, 23 Feb 2021
Komentar