Langsung ke konten utama

Cerpen Ke Empatku



Ini cerpen ke empatku di Media Massa Aku ingat sekali cerpen pertamaku di mulai dari cerpen yang termuat di Identitas, koran kampus, "The Case Of Secret" terbit Akhir Desember 2009, tapi sebenarnya cerpen ini cerpen esema dulu, dari pada nganggur kukirim saja ke koran kampus, Alhamdulillah terbit. Lalu cerpen ke Dua "Pa'Bambangan" di harian fajar, aku lupa kapan terbitnya. Cerpen yang ke tiga benar-benar surprise, cerpenku dengan judul Jeritan-jeritan yang memanggil kemudian digubah oleh redaktur menjadi "Palestina Memanggilmu" terbit di harian Nasional Republika 13 JUNI 2010, jika berbinant baca silahkan search di Blog ini, saya pernah posting. Cerpen di bawah ini adalah cerpen ke Empat, Selamat Membaca.




SAMPAH KASIHAN, JALAN SAYANG
(Pa’bambangang Bagian 2)

Berita Terkait:
» Dosa Warisan
Dua orang gadis sedang bepergian ke suatu tempat, hendak membeli sesuatu. Gadis yang satu memakai jilbab hitam dengan kerudung pink yang satunya lagi memakai jilbab bermotif, putih- jingga, kerudungnya senada dengan jilbab, jingga. Ternyata keduanya adalah dua gadis yang sama, yang pernah berdiri di depan Al Markas, Makassar setelah mengikuti English Meeting. Dalam perjalanan pulang, mereka terjebak macet, terjebak dalam pete-pete dan kisah pa’bambangang akhirnya dimulai.


Oleh Andi Asrawaty

Cerita berlanjut. Setting yang sama. Seperti biasa, jika ingin ke suatu tempat, mereka selalu menggunakan mobil, hebatnya hampir setiap hari mobil yang mereka tumpangi berbeda, pun sopirnya berbeda pula. Yah tepat, mengendarai pete-pete dengan aneka nomor, kali ini giliran si 07 yang mereka tumpangi. Semenjak kedua gadis itu mendapat informasi dalam sebuah pengajian bahwa ternyata gadis, lebih baik naik pete-pete ketimbang ojek. Menurut Ustad, naik pete-pete tidak langsung berinteraksi dengan supir karena ada penghalang yang memisahkan. Tidak seperti jika menaiki ojek, para gadis bahkan terkadang harus bersentuhan dengan sang tukang ojek, yang notabanenya bukan muhrim.

“Yah, selama ada pilihan lain selain ojek, yah naik pete-pete aja,” kata sang gadis berjilbab bermotif.

“Ia sih, tapi kadang-kadang telat ke kampusnya, soalnya pete-pete selalu menunggu penumpang. Kejar setoran. Akhirnya lama baru nyampe!” Keluh sang gadis berjilbab hitam.

“Yah, itu kan juga mengajarkan supaya kamu bangun lebih pagi, anak gadis kan harus bangun subuh, trus shalat dll, dll. Malu dong sama matahari kalau bangun siang.” Katanya sambil tertawa, ntar ngak dapat jodoh loh! Hehe”

“Apaan sih!” Mereka tertawa cekikikan sampai harus menutup mulut, “Tapi benar kan?”

“Ia deh, tapi kan terkadang ojek juga lebih hemat. Naik pete-pete kadang boros kalau harus nyambung sana sini!”

“Yah, rezeki dari mana coba, dari Allah kan? Iman harus bisa mengorbankan materi dong. Emang selama ini pernah bangkrut kalo naik pete-pete?”

“Alhamdulillah, ngak sih, selama ini, everything its ok, termasuk masalah keuangan. Konsep rezeki Islam, Keren. Demi iman dan Islam. Pasti semua ada cobaan, tapi semangat.”

“Yups, bener banget, tapi kalau memang ngak ada pilihan lain selain naik ojek, Islam juga ngak menyulitkan kok.”

“Ia, ia. Tuh pete-petenya udah datang.”

Pete-pete 07 yang mereka naiki tidak terlalu ramai, kira-kira 5 orang. Dua gadis berjilbab tersebut, seorang ibu, seorang pemuda. Tidak lama kemudian tepat di depan rumah sakit Wahidin. Pete-pete berhenti, sekitar lima menit, naik dua orang wanita beserta seorang bocah. Salah satu dari wanita itu memakai pakaian yang mini. Sungguh menantang. Sebuah dress berkain kaos sempit sehingga. Teet… Sensor. Tidak hanya itu, bayangkan dress tersebut tingginya lima cm di atas lutut, sang wanita duduk di kursi cadangan. Berhadapan langsung dengan semua penumpang, termasuk sang pemuda. Memang sang wanita yang memakai dress yang bisa dibilang kekurangan kain tersebut kelihatan tidak terlalu tua, kira-kira umurnya tiga puluhan. Namun, ternyata bocah yang naik bersamanya memanggil wanita itu dengan sebutan “mama”. Yah, benar wanita itu ternyata seorang Ibu.

Dua gadis tersebut memperhatikan sang Ibu, beberapa detik. Gadis berjilbab motif yang duduk di samping pintu memandang ke luar, gadis yang satunya juga melemparkan pandangan ke jendela. Dengan pikiran masing-masing. Tapi mungkin pikiran yang sama, tentang sang ibu yang pakaiannya yang kurang pantas dipakai oleh seorang Ibu. Apa lagi sang bocah tersebut juga anak perempuan.

Pete-pete terus berjalan. Sang wanita si dress pendek, ternyata baru saja membeli jagung rebus di depan Wahidin, sang wanita dress pendek membagikannya pada sang anak dan temannya yang lain. Jagung pertama dibuka oleh ibu. Kulitnya langsung dilempar ke luar pintu. Deg, kedua gadis sontak melihat sampah yang dibuang. Yah, ibu itu sejak pertama kali naik di pete-pete telah berhasil mengambil perhatian dua gadis. Mereka saling berpandangan beberapa detik. Gadis berjilbab motif, memandang ke gadis berjilbab hitam, memperlihatkan tampang memelas, dahinya berkerut. Kasihan pada sampah yang di buang, begitu kira-kira maksudnya. Sang gadis berjilbab hitam, membalas dengan anggukan, tegas. Yah begitulah! Arti anggukannya, walau tanpa suara.

Si ibu, setelah itu melahap dengan santai jagung. Yah, seakan tidak melakukan apa-apa. Tanpa dosa. Tidak beberapa lama, di depan pintu dua. Dug, jagung kedua kembali dihempaskan, kali ini lewat jendela, lagi-lagi kejalanan, sang gadis kembali berpandangan. Shock. Kini tidak lagi diam. Saling mengungkapkan perasaan dan pikiran. Namun, suara angin dan deru mobil menenggelamkan suara mereka,

“Kasihan sampahnya.”

“Fiuh, beginilah menjengkelkan. Padahal sudah ada peraturan daerah, cukup membuang sampah di pete-pete ”

Di depan Pertamina, lagi-lagi kulit jagung yang telah dimakan dibuang. Ini untuk yang ketiga kali. Agh,,, kesal.

“Di luar negeri, orang merasa berdosa membuang sampah.” Gadis berjilbab jingga kembali menimpali.

“Di Singapura yang buang sampah didenda!”

“Butuh kesadaran”

“Pendidikan dan iman.”

“Yah, intinya kesadaran diri, kontrol masyarakat, peran negara.”

“Di Indonesia, sepertinya satu pun tak ada yang berfungsi! Percuma seribu tahun hari lingkungan diperingati.” Huff. Menghela nafas.

“Kok jadi pesimis. Insya Allah, semoga ada, kalau tidak ada mari kita usahakan. Mau dikemanakan titel Agent Of change kita sebagai mahasiswa? Cuma slogan tong kosong,

‘Ok, sist sabar, calm down, jangan Pa’bambangang!”

Belum mereka selesai berdiskusi. Dug, sampah dibuang kembali. Gimana tidak pa’bambangang coba! Tidak, teriak mereka dalam hati, namun sayang hanya dalam hati. Mata kedua gadis mengikuti arah sampah memandang sedih. Ingin menangis rasanya.

Apa lagi ini? Di depan Toyota Jl. Perintis kemerdekaan. Kantong hitam yang malang, bungkusan jagung. Hendak dibuang lagi ke jalanan!!! Untuk yang kelima kali.

”Jangan, Bu, jangan dibuang!” Tak sanggup lagi memendam. Refleks, sang gadis berjilbab jingga sedikit histeris, sambil tangannya bergerak menghalangi, berteriak tertahan.

Tapi terlambat, kantongan sudah telanjur jatuh. Kedua gadis kembali berbalik melihat kantongan terbawa angin dan terjatuh lemas ke jalanan. Kembali mengotori jalan. Sedih.

Sang gadis berjilbab hitam. Dengan tersenyum sedih agak memelas, memandang ke arah ibu

“Udah ada peraturan, Bu, sampahnya dibuang di pete-pete saja.”

Sang ibu tersenyum, kelihatannya tidak terlalu sedih, tapi paling tidak sepertinya menyadari kesalahan.

“Nanti didenda, yah?”

“Mungkin tidak, Bu, tapi sebaiknya di buang di pete-pete saja.”

Adegan terakhir:

Semua kulit jagung telah habis terbuang di jalanan, tersisa sampah terakhir. Sehelai kulit jagung yang ditempati lombok dan garam, sang bocah yang sudah selesai menjilatinya, tidak mengerti apa-apa hendak melemparkannya kembali ke jendela. Jalanan sayang, nasibmu sungguh tragis. Sampah kasihan mana ada yang peduli tempatmu di mana!

Dua gadis, jangan de,,,

Tapi Alhamdulillah, sang ibu turun tangan sendiri, langsung menepis. Mengambil sampah yang sudah hampir dihempaskan ke jalanan oleh sang anak. Kemudian, membuang sampahnya di bawah jok tempat duduk pete-pete. Lalu tersenyum memandang kedua gadis itu.

Kedua Gadis: Saling berpandangan. Tersenyum. Membalas senyum sang ibu dan sang anak. Lega.

Penulis adalah mahasiswa Sastra Inggis Unhas (Kritik dan Saran:085342036109)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Kecil Untuk Diriku...

Dalam perjalanan hidup, terkadang kita terlalu banyak memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak akan terjadi. Pikiran-pikiran negatif, perasaan-perasaan yang tidak seharusnya. Pikiran dan perasaan itu lalu menumpuk, bagaikan benang kusut yang kita tidak pernah tahu, bagaimana dan kapan akan berakhir. Pada titik itu, kita dilanda depresi. Suatu hal yang sebenarnya ilusi yang kita ciptakan sendiri. Jika berada di titik itu, tariklah nafas. Terima keadaan, terima dirimu, dan selalu yakin bahwa Allah selalu ada, dimanapun dan bagaimanapu  kondisi kita. Berikan waktu untuk diri, mulaikah pikirkan hal-hal yang baik dan indah, tentang semua hal yang kita lewati, tentang semua rintangan yang telah kita hadapi. Singkirkan satu persatu kecemasan yang tidak semestinya. Mulailah membuat impian, pikirkan langkah-langkah kecil yang akan membuat semuanya menjadi lebih indah. Jika terdapat hambatan, yakinlah itu hanya ujian untuk membuatmu semakin kuat. Membuat cerita dalam perjalanan hidupmu ak

Merayakan Aksara dalam Dekapan Keindahan Banggai

Luwuk , saya telah lama mendengar nama kota ini, adalah ibukota kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Beberapa sanak saudara saya, merantau dan akhirnya menetap di sana, pun mertua saya pernah menetap beberapa tahun di salah satu kacamatan di Banggai . Setiap mereka pulang ke kampung halaman, oleh-oleh berupa ikan asin dan cumi kering menjadi makanan yang selalu kami tunggu, hal tersebut membuktikan bahwa potensi kekayaan bahari Banggai begitu melimpah. Hal ini tak mengherankan karena sebagaian besar wilayahnya merupakan lautan yaitu sekitar 20.309,68 km2 dengan garis pantai sepanjang 613,25 km2, tentu saja menyimpan kekayaan bahari yang berlimpah.   Tidak hanya itu wilayah daratanya dengan luas 9.672,70 km2, dengan keanekaragaman tipografi berupa pegunungan, perbukitan dan dataran randah. Tanahnya menyimpan kesuburan, berbagai buah-buahan dapat tumbuh subur ranum. Bulan kemarin saya bahkan mendapat kiriman buah naga dan salak yang sangat manis dari saudara di Luwuk .  Da

Cenning Rara

Di luar angin berhembus pelan, namun menipkan udara dingin hingga menembus sumsum tulang rusuk, masuk lebih dalam menghujam hati.  “Ibu, aku begitu rindu, sangat. Namun, apakah aku mampu untuk pulang? Ibu, bisakah aku mengatakan tidak. Haruskah aku kembali menghianatimu.  “Maaf Mak.” Uleng memendang bulan, air mata jatuh, menganak sungai. Hatinya tersandra dilema. Andi Cahaya Uleng, nama yang indah seindah artinya, cahaya bulan. Namun sayang, malam ini, untuk kesekian kalinya, hatinya dilanda prahara.  Yah, setiap kali rencana penghianatan menuntut dan berontak dibenaknya, bayangan cinta itu selalu hadir, membelai, menghangatkan, menenangkan. Bayangan cinta itu, yang tidak akan pernah pergi dari benaknya, bahkan nama yang indah itu juga pemberian cinta dari sang Ibu yang disapanya “Emmak”. Bayangan Emmak setia datang menemani, bahkan saat Emmak jauh. Aura cinta Emmak tak pernah pudar, bahkan semakin terasa. Angan-angan Uleng melambung jauh. Lagi, merasakan cinta tak bersyarat Emmak. Ya