Langsung ke konten utama
Case of Secret
Identitas Edisi Khusus Akhir TAhun

Malam kian larut dan sepi, hanya terdengar suara jangkrik yang mencoba memecah kesunyian malam. Langit begitu kelabu. Awan tebal menutupi indahnya kilauan bulan dan bintang. Aku duduk di bangku panjang yang tergeletak di serambi rumah. Keadaan ini mengingatkanku pada kenangan panjang yang menghiasi hidupku selama ini.
***
Hari itu seharusnya menjadi hari yang membahagiakan bagiku, dan bagi kakak tentunya, akhirnya aku berhasil diterima menjadi mahasiswi Fakultas Kedokteran Unhas melalui program tanpa tes. Wow, amazing mengingat fakultas kedokteran merupakan plihan sejuta umat. Aku sudah tidak sabar memberitakannya kepada kakak. Orang yang paling ku cintai dan paling berjasa bagiku. Yah, sepeninggal orang tua kami dalam kecelakaan maut, aku dan ka Fiqri hidup berdua menantang kerasnya hidup. Malang memang, tapi kami tidak pernah menyerah pada nasib, kami yakin Tuhan memberi hikmah di balik setiap peristiwa, sekalipun itu menyakitkan.
Tapi sayangnya, kabar gembia itu belum bisa kubagi dengan kakak. Sekarang dia sedang mengadakan riset di salah satu desa terpencil yang terisolasi. Ini kali pertama aku berpisah lama dengan kakak. Sudah 3 bulan dia berada di sana, hanya teleponnya yang kuterima. Aku rindu padanya.
***
“Kring,,, kring,, kring,,” bel sekolah berdering kancang di setiap koridor dan sudut sekolah, benda itu seolah memiliki kekuatan magis yang mampu menghipnotis setiap penghuni sekolah yang mendengarnya. Dan abrakadabra, beberapa saat kemudian bunyi itu telah menyihir seisi sekolah berhamburan pulang. Sebagian siswa kaum borjuis dijemput dengan mobil super mewahnya. Sebagian kecil memilih berjalan kaki karena rumahnya tidak jauh, atau mungkin memang tidak berongkos. Sebagian lainnya sedang menunggu jemputan di bawah pohon-pohon beringin yang berjejer rapi di sepanjang jalan. Pohon yang begitu berjasa, menjadi peneduh bagi setiap orang yang berada di bawahnya.
Aku duduk dibawah pohon yang cukup rindang sampil menyeruput minuman dingin. Rasanya segar membasahi urat-urat kerongkogan yang sedari tadi berteriak kehausan saat mengikuti pelajaran. Aku menunggu Ardan. Ah, Ardan entah mengapa setiap kuingat nama itu ada desiran-desiran lembut yang menggoda batinku, cintakah??? Ah ngawur, mana mungkin!!! Dia sudah seperti kakakku sendiri.
Semenjak kakak pergi dia yang menggantikan tugas kakak menemaniku. Mengantar jemputku ke sekolah dan memenuhi semua kebutuhanku. Maklum aku memang sangat manja pada kakak, dan memang kakak sangat menyayangiku. Tapi mengapa ada rasa yang berbeda saat bersamanya.
Lima menit kemudian, seorang cowok dengan setelan jeans yang dipadu dengan balutan jas merah mendekat dengan mengendarai motor hitamnya. Tapi ada yang aneh, tidak kujumpai seulas senyum lembut nan mempesona yang biasa ditujukannya padaku. Cowok itu datang dengan raut wajah yang cemas.
Dia datang dengan tergesa-gesa lalu menarik tanganku dan segera mengarahkanku ke atas motornya. Seakan tidak ingin membuang waktu sedetikpun. Motor langsung dipacunya dengan kecepatan tinggi. Tanpa mempedulikan diriku yang sport jantung dibelakangnya.
Akhirnya kami tiba di sebuah rumah sakit. Dia setengah berlari memasuki sebuah ruangan. Aku hanya mengikutinya, terus mengikutinya dengan seribu tanda Tanya yang berkecamuk di benakku. Kami berhenti tepat di depan sebuah ruangan. Begitu pintu di buka, aku hanya berdiri mematung, seakan tidak percaya kulihat sesosok pria muda yang tidak asing bagiku, berbaring dengan lemahnya. Tubuhnya yang kurus dipenuhi peralatan medis yang sepertinya sangat menyiksa. Di salah satu tangannya dipasangi selang yang terhubung dengan cairan infus, alat bantu pernafasan, serta alat pendeteksi jantung yang menunjukan garis gelombang terputus-putus. Aku segera menghampirinya. Kutatap matanya yang sayu dalam-dalam sambil mengisyaratkan seribu tanda tanya.
Setelah menyadari kedatanganku, dibukanya alat bantu pernafasan yang menutupi mulutnya. Sudah kucoba mencegahnya tapi ia bersikeras.
“ Ma, Ma, Maafin Kakak dek. Kakak sayang sama Lani. Kakak ingin pergi jauh. Mungkin nggak bakalan balik lagi, tapi Kakak ingin melihat senyum Lani untuk yang terakhir kali,” katanya terbata-bata dengan nafas yang memburu.
Dengan sekuat tenaga kutelan isak tangisku, dan berusaha tersenyum. Sesaat kemudian kakak menghembuskan nafas terakhirnya. Langit seakan runtuh. Waktu seakan terhenti. Sekujur tubuhku menjadi lemas dan seluruh tulangku remuk. Tiba-tiba semuanya gelap.
Saat kuterbangun, perlahan kubuka mata. Ah, terasa masih berat. Suara yasin yang dilantunkan membuat hatiku terasa perih. Menyadarkan diriku akan kepergian kakak yang menyisakan sebuah lubang yang menggerogoti hatiku. Masihkah kudapat tabah hidup sebatang kara?
***
Langit begitu kelabu. Tertutup awan pekat. Seakan ikut dalam duka yang paling dalam. Butiran-buturan gerimis pun setitik demi titik mulai jatuh dari angkasa seolah tak sanggup lagi menampung lara menyertai acara pemakaman kakak. Setelah acara pemakaman selesai dan satu demi satu para pelayat pun mulai pergi. Hingga sepi dan tinggallah aku seorang yang masih saja memandangi gundukan tanah merah itu dengan air mata yang tak terbendung. Bagai mata air ia terus mengalir tanpa henti. Dan semakin mengalir, semakin perih rasanya.
Isakku terhenti saat sesosok pria berpakaian serba hitam berjalan semakin mendekat ke pusara kakak. Laki-laki itu Ardan. Dia datang dengan karangan mawar putih ditangannya. Huh, laki-laki itu. Laki-laki yang menyembunyikan keadaan kakak yang sekarat padaku. Diletakkannya karangan bunga tepat di depan batu nisan.
Tak sanggup kumenahan emosiku. Kutatap dia dengan tatapan yang begitu tajam. Aku berdiri dan refleks menamparnya. Belum puas rasanya. Kupukul dadanya sekuat tenaga, tapi dia hanya diam seribu bahasa. Sampai akhirnya aku tak kuat lagi dan terjatuh lemas dan memeluk gundukan tanah pusara kakak.
“Pergi kamu! Jahat, penipu. Aku benci kamu.”
“Maafin aku!” akhinya dia membuka suara
“Aku cuma ingin menitip ini!” lanjutnya sambil meletakkan sebuah kunci di tanganku. Hampir saja kulemparkan benda yang menurutku tak penting itu ke wajahnya, tapi gantungan bola yang menghiasi kunci itu mengurungkan niatku. Ini milik kakak.
Setiba di rumah aku terdiam. Hatiku terkoyak, sakit. Aku kembali terisak, dengan langkah gontai aku memasuki kamar kakak. Kupandangi fotonya yang tersenyum. Aku larut dalam kesedihan.
Tiba-tiba aku teringat kunci yang dititipkan kakak kepada Ardan. Kurogoh saku bajuku dan kutemukan kunci itu. Aku mendekati sebuah peti yang amat berdebu selama bertahun-tahun. Itu adalah benda yang keramat bagiku. Entah apa isinya. Sudah bertahun-tahun kakak menyimpan benda itu, dengan tertutup rapat-rapat oleh jangkauanku. Kakak tidak membiarkanku menyentuhnya. Terlebih membukanya, bahkan mendekatinya. Tapi kini kuberanikan membuka peti itu.
Aku terperanjat. Berbagai macam tablet dan pil berbagai ukuran dan warna, kutemukan dalam kotak itu. Hasil ronsen dan kertas-kertas medical check membuatku semakin shock, ternyata kakak selama ini menyembunyikan penyakit kankernya selama bertahun-tahun. Aku begitu terkejut dan kembali menangis sejadi-jadinya. Kakak menyembunyikan semuanya dariku. Dia tidak ingin aku sedih, hingga mengganggu konsentrasiku saat ujian. Kanker, aku benci penyakit itu. Ibuku juga menjadi korbannya. Saat itu ayah dan ibu berangkat ke Singapura untuk melakukan operasi, memusnahkan akar penyakit jahanam itu. Naas, sebelum sampai di bandara, mobil mereka mengalami kecelakaan maut. Dan sekarang kak Fiqri juga harus meninggalkanku. Penyakit itu…
”Allahu Akbar …Allahu Akbar…”
Alunan azan membuyarkan lamunanku. Lantunannya seakan menuntunku mengambil wudhu. Kurasakan kesegaran mengalir di seluruh tubuhku. Aku lalu menghadap kepada-Nya, mengadukan semua resah dan kesedihan jiwa. Karena hanya kepada-Nya. Kepada Allah tempat seorang hamba memohon ampun dan meminta kekuatan. Seakan mendapatkan semangat baru. Akhirnya aku sadar, Allah tidak akan memberi cobaan melebihi kemampuan makhluknya. Kanker, aku begitu benci penyakit itu. Andai saja waktu bisa diputar, akan kutemukan vaksinnya sebelum kejadian itu merenggut semua kebahagiaanku. Aku tak ingin ada yang kehilangan lagi sepertiku.
By ChaRa AW

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Kecil Untuk Diriku...

Dalam perjalanan hidup, terkadang kita terlalu banyak memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak akan terjadi. Pikiran-pikiran negatif, perasaan-perasaan yang tidak seharusnya. Pikiran dan perasaan itu lalu menumpuk, bagaikan benang kusut yang kita tidak pernah tahu, bagaimana dan kapan akan berakhir. Pada titik itu, kita dilanda depresi. Suatu hal yang sebenarnya ilusi yang kita ciptakan sendiri. Jika berada di titik itu, tariklah nafas. Terima keadaan, terima dirimu, dan selalu yakin bahwa Allah selalu ada, dimanapun dan bagaimanapu  kondisi kita. Berikan waktu untuk diri, mulaikah pikirkan hal-hal yang baik dan indah, tentang semua hal yang kita lewati, tentang semua rintangan yang telah kita hadapi. Singkirkan satu persatu kecemasan yang tidak semestinya. Mulailah membuat impian, pikirkan langkah-langkah kecil yang akan membuat semuanya menjadi lebih indah. Jika terdapat hambatan, yakinlah itu hanya ujian untuk membuatmu semakin kuat. Membuat cerita dalam perjalanan hidupmu ak

Merayakan Aksara dalam Dekapan Keindahan Banggai

Luwuk , saya telah lama mendengar nama kota ini, adalah ibukota kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Beberapa sanak saudara saya, merantau dan akhirnya menetap di sana, pun mertua saya pernah menetap beberapa tahun di salah satu kacamatan di Banggai . Setiap mereka pulang ke kampung halaman, oleh-oleh berupa ikan asin dan cumi kering menjadi makanan yang selalu kami tunggu, hal tersebut membuktikan bahwa potensi kekayaan bahari Banggai begitu melimpah. Hal ini tak mengherankan karena sebagaian besar wilayahnya merupakan lautan yaitu sekitar 20.309,68 km2 dengan garis pantai sepanjang 613,25 km2, tentu saja menyimpan kekayaan bahari yang berlimpah.   Tidak hanya itu wilayah daratanya dengan luas 9.672,70 km2, dengan keanekaragaman tipografi berupa pegunungan, perbukitan dan dataran randah. Tanahnya menyimpan kesuburan, berbagai buah-buahan dapat tumbuh subur ranum. Bulan kemarin saya bahkan mendapat kiriman buah naga dan salak yang sangat manis dari saudara di Luwuk .  Da

Cenning Rara

Di luar angin berhembus pelan, namun menipkan udara dingin hingga menembus sumsum tulang rusuk, masuk lebih dalam menghujam hati.  “Ibu, aku begitu rindu, sangat. Namun, apakah aku mampu untuk pulang? Ibu, bisakah aku mengatakan tidak. Haruskah aku kembali menghianatimu.  “Maaf Mak.” Uleng memendang bulan, air mata jatuh, menganak sungai. Hatinya tersandra dilema. Andi Cahaya Uleng, nama yang indah seindah artinya, cahaya bulan. Namun sayang, malam ini, untuk kesekian kalinya, hatinya dilanda prahara.  Yah, setiap kali rencana penghianatan menuntut dan berontak dibenaknya, bayangan cinta itu selalu hadir, membelai, menghangatkan, menenangkan. Bayangan cinta itu, yang tidak akan pernah pergi dari benaknya, bahkan nama yang indah itu juga pemberian cinta dari sang Ibu yang disapanya “Emmak”. Bayangan Emmak setia datang menemani, bahkan saat Emmak jauh. Aura cinta Emmak tak pernah pudar, bahkan semakin terasa. Angan-angan Uleng melambung jauh. Lagi, merasakan cinta tak bersyarat Emmak. Ya