Langsung ke konten utama

Menulis: Budaya Imajiner Vs Budaya Terputus

Menulis esensinya adalah membangun, merangkai dan melestarikan sejarah. Sejarah apa? Sejarah ilmu pengetahuan, budaya dan seni. Mungkin sebagai orang yang bisa dikatakan baru dalam dunia kepenulisan, terlalu lancang untuk menulis statement tersebut, tetapi kembali pada hak kebebasan. Siapapun bebas mengemukakan pendapat, dan tak seorang pun yang dapat mengintervensinya. Dengan menulis kita kemudian membangun,
merangkai, serta mensinergikan ilmu-ilmu yang sudah ada untuk menemukan sebuah gagasan atau inovasi baru dalam sebuah dunia ide secara tertulis. Dengan menulis pun kita dapat melestarikan sejarah dengan kata yang lebih hidup dan berwarna.

Menulis, sebuah hal yang menurut banyak orang bukan pekerjaan mudah, dan benar menulis bukanlah pekerjaan mudah. Menulis adalah sebuah budaya yang sangat bernilai. Kemajuan dan moderanitas suatu bangsa dapat ditakar melalui dunia ide yang diunkapkan secara tertulis. Lalu bagaimana dengan budaya menulis saat ini di Indonesia? Jawabannya dapat kita intip dari cermin minat baca masyarakat. Kegiatan menulis dan membaca dapat dimetaforakan sebagai dua sejoli yang tidak terpisahkan. Menulis sebagian besar dilakukan hanya dengan modal pengetahuan. Sebagian besar pengetahuan ter-cover dengan lengkap pada sebuah buku. Oleh karenanya, untuk dapat menulis merupakan hal yang mutlak untuk membaca buku.

Di Indonesia dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh cendikiawan dan budayawan, minat baca di Indonesia menunjukkan statistik yang sangat memprihatinkan. Sebuah data dari UNESCO tahun 2005 menyebutkan bahwa, jika mahasiswa di Negara industri maju rata-rata membaca buku delapan jam perhari, di Negara berkembang, termasuk Indonesia, kegiatan membaca buku hanya dua jam. Jadi kalau ada yang bertanya mengenai kemampuan menulis di Indonesia bisa dikatakan hampir sama dengan minat baca. Sangat memprihatinkan.

Budaya yang tercipta dan berkembang di masyarakat kita memanglah budaya tutur. Namun ketika menelisik sejarah perjalanan bangsa ini akan kelirulah kita jikalau menganggap budaya menulis adaalah sebuah budaya imajener. Bisa kita lihat tokoh-tokoh pendahulu bangsa Indonesia para founding fathers yang memperjuangkan republik ini dari penjajahan memiliki legitimasi historis dalam kemampuannya membaca dan menulis. Sebut saja Hatta, Suekarno, Agus salim dan kawan-kawannya. Pada masa reformasi, tonggak lengsernya orde baru juga muncul sosok legendaries Sok Hok Gie yang ide-idenya bergentayangan memengaruhi massa lewat tulisan-tulisannya di kompas.

Entah sejak kapan pastinya budaya ini terputus, yang jelas menurut Taufik Ismail dalam sebuah artikelnya menyatakan bahwa Indonesia menderita tragedi nol buku, sebuah tragedi bahwa siswa-siswi di sekolahan membaca nol buku. Tragedi ini berlangsung pada awal 1950. Ketika seluruh aparat pemerintahan sudah sepenuhnya di tangan sendiri. Demi mengejar ketertinggalan sebagai bekas jajahan yang mesti membangun jalan raya, bangunan rumah sakit, jembatan, dll, maka yang diunggulkan dan yang disanjung adalah jurusan eksakta (teknik, kedokteran, pertanian, farmasi) ekonomi dan hukum. Wajib baca 25 buku sastra pada masa Algemene Middelbare School (SMA zaman Belanda dahulu) dipangkas habis karena dipandang tidak perlu. Hal inilah yang dianggap Taufik Ismail sebuah kesalahan peradaban luar biasa.

Mari kita mem-flash back antara tahun 1942-1945. Kelompok sastrawan pada masa itu (kependudukan jepang) adalah para biblihoclic (baca:penggila buku). Mereka wajib membaca 25 buku sasstra. Tapi jangan keliru, dengan membaca 25 buku tersebut sama sekali tidak bertujuan agar semua siswa jadi sastrawan. Sastra merupakan sebuah medium untuk menanamkan rasa ketagihan buku sampai dewasa.
Budaya membaca sastra yang ditanamkan sejak dini di sekolah. Pada masa itu seorang ABG pada tahun 1919 masuh sekolah SMA dagang menengah Prins Hendrik School di Batavia. Wajib baca buku sastra menyebabkannya ketagihan baca, tapi dia suka ekonomi. Dia melangkah ke samping lalu menjadi ekonom dan ahli koprasi. Namanya Hatta. Kisah lain seorang siswa di AMS Surabaya juga seorang adiksi buku. Kasur, kursi dan lantai kamarnya ditebari buku. Tapi dia lebih suka imu politik, sosial dan nasionalisme. Dia pun melangkah ke samping dan menjadi poltikus. Namanya Suekarno.

Lalu bagaimana Indonesia hari ini? Budaya membaca dan menulis yang telah di tunjukkan oleh para pendahulu kita tidak terwarisi secara baik, bahkan buruk. Oleh karenanya budaya membaca dan menulis ini harus segera dikembalikan secepatnya. Hal ini harus di usahakan oleh semua pihak. Hal inipun yang sedang di usahakan oleh mahasiswa-mahasiswa Unhas yang tergabung dalam organisasi kepenulisan terbesar Forum Lingkar Pena yang mengadakan pelatihan kepenulisan selama tiga hari mulai tanggal 3-5 Desember di Pesantren Ummul Mukminin. Pelatihan ini bernama Training Of Recruitment II FLP Ranting Unhas (TOR II FLP UH) yang berhasil mengumpulkan berbagai peserta dari kalangan siswa dan mahasiswa Makassar. Satu minggu sebelum pelaksanaan TOR II FLP UH ini panitia juga menyelenggarakan pra-TOR yang berupa Workshop kepenulisan yang menghadirkan penulis-penulis nasional. Tidak berhenti sampai di situ, sebagai pihak penyelenggara FLP UH akan terus mengkampanyekan budaya baca tulis dengan mengadakan sekolah menulis setiap minggunya sebagai Follow-Up TOR tersebut dengan harapan budaya membaca dan menulis yang terputus dapat segera kembali merasuk dan terjalin sempurna demi membangun peradaban baru. Amin.
Penulis adalah Mahasiswa Sastra Inggris’08
Penggiat Forum Lingkar Pena Ranting Unhas

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Kecil Untuk Diriku...

Dalam perjalanan hidup, terkadang kita terlalu banyak memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak akan terjadi. Pikiran-pikiran negatif, perasaan-perasaan yang tidak seharusnya. Pikiran dan perasaan itu lalu menumpuk, bagaikan benang kusut yang kita tidak pernah tahu, bagaimana dan kapan akan berakhir. Pada titik itu, kita dilanda depresi. Suatu hal yang sebenarnya ilusi yang kita ciptakan sendiri. Jika berada di titik itu, tariklah nafas. Terima keadaan, terima dirimu, dan selalu yakin bahwa Allah selalu ada, dimanapun dan bagaimanapu  kondisi kita. Berikan waktu untuk diri, mulaikah pikirkan hal-hal yang baik dan indah, tentang semua hal yang kita lewati, tentang semua rintangan yang telah kita hadapi. Singkirkan satu persatu kecemasan yang tidak semestinya. Mulailah membuat impian, pikirkan langkah-langkah kecil yang akan membuat semuanya menjadi lebih indah. Jika terdapat hambatan, yakinlah itu hanya ujian untuk membuatmu semakin kuat. Membuat cerita dalam perjalanan hidupmu ak

Merayakan Aksara dalam Dekapan Keindahan Banggai

Luwuk , saya telah lama mendengar nama kota ini, adalah ibukota kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Beberapa sanak saudara saya, merantau dan akhirnya menetap di sana, pun mertua saya pernah menetap beberapa tahun di salah satu kacamatan di Banggai . Setiap mereka pulang ke kampung halaman, oleh-oleh berupa ikan asin dan cumi kering menjadi makanan yang selalu kami tunggu, hal tersebut membuktikan bahwa potensi kekayaan bahari Banggai begitu melimpah. Hal ini tak mengherankan karena sebagaian besar wilayahnya merupakan lautan yaitu sekitar 20.309,68 km2 dengan garis pantai sepanjang 613,25 km2, tentu saja menyimpan kekayaan bahari yang berlimpah.   Tidak hanya itu wilayah daratanya dengan luas 9.672,70 km2, dengan keanekaragaman tipografi berupa pegunungan, perbukitan dan dataran randah. Tanahnya menyimpan kesuburan, berbagai buah-buahan dapat tumbuh subur ranum. Bulan kemarin saya bahkan mendapat kiriman buah naga dan salak yang sangat manis dari saudara di Luwuk .  Da

Cenning Rara

Di luar angin berhembus pelan, namun menipkan udara dingin hingga menembus sumsum tulang rusuk, masuk lebih dalam menghujam hati.  “Ibu, aku begitu rindu, sangat. Namun, apakah aku mampu untuk pulang? Ibu, bisakah aku mengatakan tidak. Haruskah aku kembali menghianatimu.  “Maaf Mak.” Uleng memendang bulan, air mata jatuh, menganak sungai. Hatinya tersandra dilema. Andi Cahaya Uleng, nama yang indah seindah artinya, cahaya bulan. Namun sayang, malam ini, untuk kesekian kalinya, hatinya dilanda prahara.  Yah, setiap kali rencana penghianatan menuntut dan berontak dibenaknya, bayangan cinta itu selalu hadir, membelai, menghangatkan, menenangkan. Bayangan cinta itu, yang tidak akan pernah pergi dari benaknya, bahkan nama yang indah itu juga pemberian cinta dari sang Ibu yang disapanya “Emmak”. Bayangan Emmak setia datang menemani, bahkan saat Emmak jauh. Aura cinta Emmak tak pernah pudar, bahkan semakin terasa. Angan-angan Uleng melambung jauh. Lagi, merasakan cinta tak bersyarat Emmak. Ya