Begitu aku memanggilnya. Puang Gau. Bukan karena sok ningrat,
tapi sebutan itu telah menyatu, mengubahnya seakan mengganti identitas. Aku
ingat saat pertama kali bertemu dengannya. Untuk pertama kalinya pula
menginjakkan kaki di BTP Blok G No 74. Saat itu ibu datang memperkenalkanku pada puang
Gau. Kata Ummi, kalau aku mau melihat kakek, lihat saja Puang Gau, dia sangat mirip dengan kakek. Oh yah, saat
diperkenalkan oleh Ummi sebuah peristiwa lucu terjadi, peristiwa yang tidak
akan pernah terlupa. Yah, saat itu aku, dan kedua sahabatku yang juga ikut
bersamaku, Mhul dan Imonk. Kami kebetulan lulus di Bimbingan Belajar, daerah BTP.
Ibu tiba-tiba ingat bahwa ada om yang juga tinggal di daerah BTP. Ibu
menyarankan agar aku tinggal di sana saja. Aku setuju, dan akhirnya aku
mengajak kedua temanku tersebut.
Saat kami berkenalan dengan Puang
Gau, kami disergap rasa takut. Walaupun puang gau sangat ramah, penampilannya
yang tinggi besar, serta jiwanya yang berwibawa terkesan menyeramkan, membuat rasa
takut bercampur dengan tegang dan segan. Saat kami telah turun dari kamar yang
sudah disiapakan untuk kami bertiga. Om sudah duduk sofa di ruang tengah. Ibu
duduk di dekat puang gau, hendak memperkenalkan kami satu demi satu. Kami
dengan agak canggung, menunduk, tersenyum lalu duduk di lantai. Adat orang
bugis, apa lagi baru kenal, jika orang tua duduk di atas, kami anak-anaknya
harus duduk di bawah. Tentu saja kami membawa adat kampung. Serta merta dengan
suara bas-nya yang datar namun seolah tertawa dia berkata, “Kenapa kalian
terlalu feodal. Duduk di atas saja! di sini bukan di kampung lagi.”
Kami bertiga saling melirik. Dan
naik pelan-pelan kea rah sofa dengan canggung. Dan perkenalan kami di mulai
dengan interview pemanasan.
“Kalian jangan begitu lagi, duduk
di atas. Di kampung jie itu orang
begitu nak.” Dan pertanyaan mengalir deras. Mulai dari kami juara berapa di
sekolah, menanyai kami ingin mendaftar di mana dan lain sebagainya. Seakan-akan
sedang diinterview untuk melulusi beasiswa keluar negeri. Kami menjawab apa
adanya. Mengetahui kami cukup berprestasi dimulailah ceremah panang yang
menurut kami penuh motivasi dan hal-hal baru. Kami mendengar dengan seksama.
Ibu ikut mendengarkan sambil sesekali membenarkan perkataan Puang Gau dan harus
selalu menurutinya.
“Di sini beda dengan di kampung.
Kalian tidak boleh hanya jago di kandang. Mendaftar perguruan tinggi itu tidak
ada sistem kekeluargaan. Kalian harus berusaha sendiri. Jadi… “ Pokoknya
panjang, dan ceramah yang penuh motivasi dan dipenuhi hal-hal baru dimulai.
Kami mengangguk angguk penuh takzim dan mendengarkan dengan saksama.
Ah, sosok pria yang satu ini
sungguh sulit menarik perhatiannya. Sungguh sulit mendapat pengakuannya. Dan
sungguh sulit memperoleh pujian darinya. Puang Gau, beliau setiap akhir
semester akan bertanya kepada kami berapa IP-Mu semester ini? Jika kami
terlihat di rumah saja, beliau akan bertanya, Kamu tidak kuliah? Kalau Ip tidak
bertambah dia akan protes. Beliau selalu memberi semangat kepada kami walaupun
itu lebih terdengar seperti sebuah ancaman dan peringatan. Maka aku tidak
mungkin membuat malu diriku sendiri pada om yang telah berbaik hati memberiku tumpangan dirumahnya. Puang Gau tidak meminta apa pun dariku. Dia hanya ingin aku berhasil. Itu saja. Akh, aku harus membuatnya bangga. Suatu hari. Aku pasti bisa!
Komentar