Langsung ke konten utama

FLP : Melukis Pelangi Lewat Kata dan Goresan Pena

Rabun Membaca lumpuh Menulis, Benarkah?
 Seorang gadis kecil, usianya sekitar delapan tahun, memegang buku, matanya melirik dari kanan ke kiri, sesekali dia tertawa terbahak, lain waktu air matanya mengalir beserta sengungukan yang tak tertahan.

“Ra....” Dari jauh sayup-sayup sebuah suara memanggilnya. Tapi tidak diresponnya, dia terlalu larut dalam bacaannya sampai seseorang menepuk pundaknya.
“Ra, dipanggil tuh sama ibumu.”
“Eh, ia kak. “Saking seriusnya membaca Asra terkejut.
“Ra...” Ibu memanggil lagi, entah yang sudah keberapa kali, akhirnya dia menyahut juga dengan nada kesal. Ia, Bu tunggu.
“Oia, jangan lupa bukunya di simpan ya Ra.”
“Ia Kak, Asra tau. Ngak boleh di bawah ke rumah kan, bacanya di sini saja. Asra udah hafal kok!”

Dengan perasaan yang cukup kesal sang anak kembali ke rumahnya. Memenuhi panggilan ibu.
“Ada apa Bu?” Tanyanya dengan malas.
“Ambilkan itu.” Perintah ibu sambil menunjuk sebuah baskom hitam tidak jauh dari tempanya duduk berjongkok, Ibu sedang mencuci.
“What? Jadi Asra dipanggil cuman untuk mengambil baskom yang jaraknya cukup lima langkah dari Ibu!”
“Ia. Jawab ibu ringan tanpa rasa bersalah.

Ingin rasanya Asra kecil marah dan berteriak, tapi lucu juga. Bayangkan Asra tadi di tetangga sebelah, sedang serius-seriusnya membaca komik Shylpid volume 21. Persis berada pada konflik cerita yang mendebarkan dan tiba-tiba dikagetkan oleh sura lengking panggilan ibu. Ternyata hanya disuruh mengambil baskom yang jaraknya hanya sekitar lima langkah dari ibu.

Asra seketika terbahak, namun protes juga. Asra sedang membaca ibu. Masa dipanggil cuman karena ini. Ibu juga tertawa, sambil membela diri ibu bilang, kalau udah jongkok ibu malas berdirinya.

Yah, begitu gambaran perkenalanku pada dunia membaca, semenjak kecil aku suka membaca. Membaca buku dongeng bergambar, membaca buku bobo, membaca komik-komik manga jepang, yah semuanya. Saat beranjak remaja, di eSeMPe ketika membaca buku bahasa Indonesia, halaman yang pertama saya cari adalah halaman yang terdapat cerpen, cerita rakyat atau pun semacamnnya di sana. Beranjak eSeMA, saya sudah mulai membaca novel, novel teenlit tentunya. Walaupun harus pinjam sana sini dengan teman.

Beruntung tetangga sebelah rumah memiliki banyak buku, mulai dari majalah bobo hingga komik manga jepang terbaru. Walau pun syarat membaca bukunya tidak boleh dibawa pulang kerumah dan harus sabar menunggu sang empunya selesai membaca dulu. Saya harus ikut aturan main. Saya yang butuh. Begitu seterusnya.

”Benarkah kini bangsa kita telah rabun membaca dan lumpuh menulis?” Mungkin perkiraan Taufik Ismail ada benarnya.
Saya cukup merasakan. Lahir dan besar di kota Bone, sebuah kota kabupaten yang jaraknya empat jam dari ibu kota profensi Makassar. Jangankan untuk menulis, terpikir membeli buku selain LKS saja tidak pernah, maklum penghasilan maupun pengetahuan orang tua tentang dunia kepenulisan minim kalau tidak dibilang nol.
Maka jadilah saya meminjam satu buku ke buku lainnya, tidak berminat mengetahui siapa pengarangnya, penerbit atau apa pun itu. Yang jelas jika teman ada buku baru, saya akan pinjam. Jika saya hendak membeli buku, ibu saya akan bilang begini. Nak, kalau bisa pinjam, bukunya tidak usah dibeli. Maka semakin jauhlah saya dari dunia kepenulisan.

Ada juga hal menarik, bayangkan, jika saya telah memegang buku, orang-orang disekitar saya terlebih orang tua akan berdecak kagum, walaupun buku yang saya pegang ternyata buku fiksi yang tidak ada dengan mata pelajaran. Yah, pelajar memegang buku selain akhir semesteran menjadi suatu hal yang luar biasa.

Dan keinginan Menulis Itu Menyapa
Di EsEmA saya bertemu dengan seorang teman, suka membaca juga. Setelah sekian lama, bertemu juga orang yang memiliki hobby yang sama. Namanya Mulhaeri dan wow, dia telah memiliki sebuah buku catatan yang isinya dipenuhi dengan cerpen-cerpennya. Dari situ saya mulai tertarik menulis. Naik ke kelas tiga EsEmA, kami dipertemukan dengan guru bahasa Indonesia, Bu Marlina yang benar-benar membuat saya menemukan bahwa saya suka menulis. Pertama kali menulis cerpen, langsung diikutkan pada perlombaan menulis di majalah, saya tidak akan pernah lupa judul cerpen itu Topeng Kepalsuan.

Pertemuan dengan FLP
 Kesenangan akan sastra dan bahasa inggris akhirnya menuntunku untuk mantap memilih jurusan Sastra Inggis di Universitas Hasanuddin Makassar. Meninggalkan segenap kenangan di kota kelahiran dengan sebongkah semangat membara. Tahun pertama, sibuk dengan rangkaian penyambutan mahasiswa baru dengan rentetan tuntutan akademik membuatku lupa pada menulis, hingga satu waktu saya berkenalan dengan seorang teman, pengurus FLP Unhas. Bulqia Mas’ud namanya.

“Dengar-dengar kamu suka nulis yah. Mau tidak gabung dengan FLP? “Kata temanku suatu hari
“Apa PLV?“
Bukan PLV, tapi FLP Asra.” Katanya dengan wajah yang sedikit manyun.
“Oke, yang itulah, memangnya itu kegiatan apa”.

Dan sang teman itu mempromosikanlah FLP sebagai lembaga kepenulisan terbesar. Tidak lama datang teman yang lain, kulihat Pin FLP melekat di kerudungnya. FLP, yah akhirnya saya dapat mengeja dengan tepat, tidak salah lagi FLP. Hem, tapi sungguh waktu itu saya tidak tahu apa-apa soal FLP. Jujur, mana saya tahu dengan Novel-Novel Islami, majalah Annida, yang saya tahu hanya komik manga, satu-satunya buku novel Islami yang saya baca yah karyanya kang Habib KCB, mana saya tahu juga beliau anggota FLP. Helvy Tiana Rossa, Asma Nadia, sungguh saya tidak kenal.

Dengan semua ketidaktahuan saya itu, sungguh berani saya untuk masuk FLP. Hanya dengan hanya berbekal suka membaca dan pernah menulis cerpen. Tapi saya tetaplah saya. Masa bodoh, pokoknya harus ikut FLP. Titik. Dan saya si gadis polos mulailah berkenalan dengan orang-orang hebat. Para penulis, waktu itu ketua FLP Sulsel kak Sultan Sulaiman, ketua FLP Unhas kak Fitrawan umar, saya juga bertemu dengan kak Nd, kak atun dan juga kak Aida Radar.
Sebelum Recruitment FLP saya sudah ditarik duluan untuk menjadi panitia, waktu itu acara Workshop kepenulisan, judulnya “Menulis Buku Sejak Mahasiswa”, dan jadilah saya sekretaris bayangan, karena yang nampang hanya sekedar nama, tidak mengerjakan apapun, wajarlah saya minus pengalaman. Tapi saya sudah cukup senang karena saya menjadi MC di acara itu.

Karya Pertamaku
Tahun pertama menjadi pengurus FLP, mulai tersadar akan pentingnya buku, mengetahui penulis dan penerbit serta hal-hal tentang dunia kepenulisan. Ketika ada uang berlebih, target pertama membeli buku. Kebutuhan yang lain dibelakang. Ibu, masih tetap sama. Nak, kalau tidak penting, tidak usah beli buku. Tapi sekarang jawabanku berubah. Bu, mana ada buku yang tidak penting. Dan ibu, selalu akan mengerti jika ada penjelasan.

Setelah mendapat bocoran cara mengirim tulisan di koran kampus, tanpa pikir panjang langsung menyetor tulisanku. Dua buah puisi. Dan, melihat sebuah nama terpampang di koran untuk yang pertama kali ada rasa senang yang susah digambarkan. Koran kampus, edisi akhir September 2010, Sajak-sajak Chara AW, dibawahnya dua puisiku termuat yang satu judulnya Pergi, satunya lagi berjudul Kata, tepat di bawahnya tertulis begini Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris angkatan 2008 Anggota FLP Ranting Unhas. Sejak saat itu, tulisan-tulisanku sesekali menghiasi koran kampus. Ada sebuah kesenangan unik ketika tulisan kita dibaca oleh orang lain dan ketika karya telah termuat seakan ada daya dorong untuk kembali menulis. Kecanduan mungkin.

Yah, hal yang paling menarik adalah persaingan sehat antar para pengurus FLP. Saya sendiri mengakui, ketika melihat karya pengurus lain terbit, semangat saya akan berkobar terpicu sambil berjanji dalam hati. Edisi depan tulisan saya yang akan terbit. Begitu seterusnya. Dua kali koran kampus terbit, dan hampir setiap minggu pula cerpen atau pun puisi para FLP-ers akan menghiasi Rubrik Cerpen, sampai-sampai mahasiswa lain mengambil kesimpulan, kalau mau cerpennya nampang di Koran Kampus harus menjadi anggota FLP dulu.

Satu persatu pergi, aku tetap bertahan
Dan tibalah acara reqruitment, 10 januari 2010, waktu itu saya juga membantu panitia, namun karena belum pernah ikut Training Of Recruitment (TOR) saya tetap menjadi peserta. Tabo-tabo, itu nama tempatnya. Akses masuk ke daerah itu sangat jauh dari poros Pangkeb, sekitar dua jam. Ditambah tidak ada signal. Terisolasi total. Namun, tentunya mengikuti workshop kepenulisan di daerah sejuk nun jauh dari keramaian kota menjadi sebuah kenikmatan tersendiri dan suasananya sangat mendukung untuk menulis.

Untuk pertama kali saya bertemu dengan mbak Izzatul Jannah, ketua FLP Pusat. Berkenalan juga dengan senior-senior Sulsel dan juga pengurus FLP sulsel lainnya. Sebanyak kurang lebih 100 perserta ikut dalam kegiatan itu. Setelah TOR, para peserta harus mengikuti Follow Up, sekolah menulis mingguan untuk dapat menjadi pengurus dan berstatus penuh sebagai anggota FLP selama tiga bulan. Disanalah suntikan-suntikan motivasi itu bermula.

Namun, pertemuan demi pertemuan, ada saja anggota yang hilang, tidak bertahan, muncul tenggelam dan akhirnya benar-benar pergi tak ada kabar. Hingga saat ini, TOR IV itu hanya menyisakan kurang dari sepuluh orang pengurus, termasuk saya.

Memukan Cahaya dan Pelangi di FLP
Tak akan pernah ada pelangi tanpa cahaya. Dan, kalau ada yang bertanya kenapa aku tetap bertahan di antara orang-orang yang pergi satu persatu dari FLP, jawabanku singkat karena aku hanya menemukan keduanya di Forum Lingkar Pena. Cahaya dan Pelangi. Ketika yang lain lebih aktif di Senat Mahasiswa, Badan Eksekutif Mahasiswa atau apa pun namanya, aku lebih memilih FLP. Berbeda di komunitas lain di sini, aku menemukan wajah-wajah muslimah teduh yang dibingkai oleh kerudung. Juga teman-teman laki-laki yang begitu menjaga interaksi.  

Aku, yang hanya gadis polos yang tidak pernah berkenalan lebih jauh dengan dunia Islam akhirnya jatuh hati. Menemukan cahaya Islam yang pada akhirnya sangat berpengaruh penting pada pilihan hidupku sekarang.  Walau pun sempat bingung dengan berbagai pesona warna dakwah yang ditawarkan di kampus merah. Di FLP, semua berkumpul menjadi satu, menjadikan pena sebagai ladang dakwah dengan warna masing-masing menjadi sebuah pelangi.

Pernah pula bergabung dengan komunitas lain di luar FLP, beberapa kali. Tapi memang FLP sudah seperti rumah, sejauh apa pun kami pergi, pasti kami akan kembali ke rumah itu. Di dalamnya ada keluarga kedua, yang akan selalu setia, walau sekedar mengirimkan sms selamat terhadap karya-karya yang terbit, sama-sama bersedih ketika ada yang sakit dan kompak menembus hujan menghadiri pesta perkawinan para kader. Yah, hati kami telah terpenjara di FLP, kata salah seorang senior pada pembukaan salah satu acara.

Dan benar saja, dua tahun lebih berada di FLP berbagai suka duka telah dirasakan dengan para pengurus. Bagaimana semangat optimisme tetap berkobar melaksanakan kegiatan walau dana terlampau tipis sekalipun, tak jarang kesalahpahaman menghadang, namun disitulah ukhuwah dan ketulusan diuji. Karena sungguh, tetap berada di Forum Lingkar Pena, bukan untuk sekedar mencari teman atau pun wadah kepenulisan, tapi lebih dari itu hanya mencari ridho Allah. Ketika egoisme meracuni, mensucikan niat adalah penawar paling ampuh.

Di FLP Mengukir Kata dan Karya
Yah, tak terasa dua tahun telah lebih telah berlalu semenjak menemukan Forum Lingkar Pena, dan aku tetap bertahan. Aku ingat, tahun pertama, karya-karyaku telah termuat di koran kampus dan salah satu media lokal terbesar di Indonesia Timur, puisi, cerpen dan opini. Satu cerpen berhasil lolos di Koran Nasional. Beberapa juara kepenulisan karya ilmiah populer berhasil kuraih. Setelah bangkit berkali-kali, karena telah kebal dengan kegagalan dan kekalahan.

Tahun kedua, tiga buku kumpulan cerpen terbit. Yang berkesan saya berkesempatan menjadi Dewan Pembaca sebuah harian Lokal di sebuah surat kabar ternama di Indonesia Timur. Bertemu dan bekerjasama dengan orang-orang penting nan hebat di Kota Makassar, mulai dari akademisi, para pakar media, dan juga politikus untuk memberi masukan pada koran tersebut. Saya adalah satu-satunya anggota yang berstatus sebagai Mahasiswa. Lima belas anggota lainnya yang lain rata-rata bergelar professor, peneliti, pakar dan sungguh sebuah kesempatan emas.

Di tahun yang sama, 2011 bersama dengan teman-teman lainnya para FLP-ers, begitu kami menyebut, berkesempatan mengikuti meneguk ilmu kepenulisan dalam Up Grading FLP, di Yogyakarta bersama Para senior FLP yang begitu hebat dan fenomenal, Mas Irfan Hidayatullah, Bunda Maemon Herawati, Bunda Pipit Senja, Mbak Sinta Yudisia, Mbak Rahmadiyanti Rusdi, Mas Koko Nata, Bang Benny Arnas, Udztad Hatta dan penulis hebat lainnya yang tidak bisa saya sebut satu persatu.

Di tahun ke tiga, begitu banyak hal yang telah terlewati bersama, bedah buku, seminar kepenulisan, lomba-lomba. Saya masih bertahan, dan akan berusaha terus bertahan. Tentang kritikan orang di luar FLP, semua adalah pemicu, tidak usah ambil hati. Yang terpenting adalah terus berjuang. Membaca, menulis dan berkarya. Rumus yang selalu diajarkan para senior di FLP. Dan buktikan pada dunia, kita bisa.

Benar lagi kata taufik Ismail "Forum Lingkar Pena sangat fenomenal. FLP adalah hadiah Tuhan untuk Indonesia…". Allah selalu punya rencana indah untuk hambanya. Saya tidak tahu bagaimana jika Allah tidak membimbing sang gadis polos bertemu dengan FLP, cahaya dan pelanginya.

Saya suka pelangi, dan pelangi itu saya temukan di FLP pada wajah-wajah kalian.

Oleh: Andi Asrawaty
/Dewan Penasehat FLP Unhas & Koordinator Humas Makassar/

Sebatas kado kecil untuk milad FLP 
Ini kisahku.. apa kisahmu? :D

Komentar

awalina mengatakan…
salam kenal mb..
semngatnya sya rasakan..
terus berkarya ya.. ;)

Postingan populer dari blog ini

Catatan Kecil Untuk Diriku...

Dalam perjalanan hidup, terkadang kita terlalu banyak memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak akan terjadi. Pikiran-pikiran negatif, perasaan-perasaan yang tidak seharusnya. Pikiran dan perasaan itu lalu menumpuk, bagaikan benang kusut yang kita tidak pernah tahu, bagaimana dan kapan akan berakhir. Pada titik itu, kita dilanda depresi. Suatu hal yang sebenarnya ilusi yang kita ciptakan sendiri. Jika berada di titik itu, tariklah nafas. Terima keadaan, terima dirimu, dan selalu yakin bahwa Allah selalu ada, dimanapun dan bagaimanapu  kondisi kita. Berikan waktu untuk diri, mulaikah pikirkan hal-hal yang baik dan indah, tentang semua hal yang kita lewati, tentang semua rintangan yang telah kita hadapi. Singkirkan satu persatu kecemasan yang tidak semestinya. Mulailah membuat impian, pikirkan langkah-langkah kecil yang akan membuat semuanya menjadi lebih indah. Jika terdapat hambatan, yakinlah itu hanya ujian untuk membuatmu semakin kuat. Membuat cerita dalam perjalanan hidupmu ak

Merayakan Aksara dalam Dekapan Keindahan Banggai

Luwuk , saya telah lama mendengar nama kota ini, adalah ibukota kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Beberapa sanak saudara saya, merantau dan akhirnya menetap di sana, pun mertua saya pernah menetap beberapa tahun di salah satu kacamatan di Banggai . Setiap mereka pulang ke kampung halaman, oleh-oleh berupa ikan asin dan cumi kering menjadi makanan yang selalu kami tunggu, hal tersebut membuktikan bahwa potensi kekayaan bahari Banggai begitu melimpah. Hal ini tak mengherankan karena sebagaian besar wilayahnya merupakan lautan yaitu sekitar 20.309,68 km2 dengan garis pantai sepanjang 613,25 km2, tentu saja menyimpan kekayaan bahari yang berlimpah.   Tidak hanya itu wilayah daratanya dengan luas 9.672,70 km2, dengan keanekaragaman tipografi berupa pegunungan, perbukitan dan dataran randah. Tanahnya menyimpan kesuburan, berbagai buah-buahan dapat tumbuh subur ranum. Bulan kemarin saya bahkan mendapat kiriman buah naga dan salak yang sangat manis dari saudara di Luwuk .  Da

Cenning Rara

Di luar angin berhembus pelan, namun menipkan udara dingin hingga menembus sumsum tulang rusuk, masuk lebih dalam menghujam hati.  “Ibu, aku begitu rindu, sangat. Namun, apakah aku mampu untuk pulang? Ibu, bisakah aku mengatakan tidak. Haruskah aku kembali menghianatimu.  “Maaf Mak.” Uleng memendang bulan, air mata jatuh, menganak sungai. Hatinya tersandra dilema. Andi Cahaya Uleng, nama yang indah seindah artinya, cahaya bulan. Namun sayang, malam ini, untuk kesekian kalinya, hatinya dilanda prahara.  Yah, setiap kali rencana penghianatan menuntut dan berontak dibenaknya, bayangan cinta itu selalu hadir, membelai, menghangatkan, menenangkan. Bayangan cinta itu, yang tidak akan pernah pergi dari benaknya, bahkan nama yang indah itu juga pemberian cinta dari sang Ibu yang disapanya “Emmak”. Bayangan Emmak setia datang menemani, bahkan saat Emmak jauh. Aura cinta Emmak tak pernah pudar, bahkan semakin terasa. Angan-angan Uleng melambung jauh. Lagi, merasakan cinta tak bersyarat Emmak. Ya