Langsung ke konten utama

Memutus Polemik Plagiarisme Kesusastraan Indonesia


                    

Sastra akan selalu menarik untuk dibicarakan, namun ternyata tidak mudah untuk didefenisikan sastra, “We all know what we mean by literature even we cannot define it” begitu kira-kira pernyataan Hazard Adams dalam bukunya The Interest Of Criticism[1]  kita semua mengetahui apa yang dimaksud sastra namun tidak dapat mendefenisikannya secara tepat. Maka wajar jika dikalangan para teoritikus sastra terdapat perbedaan-perbedaan dalam menilai sebuah karya sastra, Teoritikus datang membawa teorinya dengan menantang teoritikus sebelumnya. Plato dan Aristotles menjadi sebuah bukti nyata akan pertentangan tersebut. Maka melihat potensi penafsiran yang berbeda tersebut, tidak heran jika berbicara mengenai plagiarisme karya sastra pun akan ditemui penafsiran serta dakwaan yang berbeda terhadap orisinalitas sebuah karya sastra.

Episode Kasus Plagiarisme Sastra di Indonesia
            Menurut kamus besar bahasa Indonesi plagiat berarti pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri.[2]
Kasus plagiarisme sastra terus saja bergulir dan terjadi dari masa ke masa, yang menjadi menarik sekaligus sebuah polemik apabila plagiarisme ditujukan kepada para sastrawan  yang sudah dikenal dan harum namanya sebagai sastrawan. Adalah Chairil anwar yang mendapat tuduhan dan pembuktian dari banyak orang bahwa pelopor angkatan 45 (1956) tersebut adalah seorang “plagiator”. Beberapa puisinya dinyatakan sebagai saduran tanpa mencantumkan nama penyair asli.
Tuduhan lain akan status plagiator yang begitu menggetarkan dunia sastra Indonesia tidak luput dari tokoh sastra Indonesia yang begitu tersohor Haji Abdul Malik Karim Abdullah yang lebih dikenal dengan sebutan Buya Hamka. Beliau dituduh menjiplak karya Mustafa al-Manfaluthi berjudul Magda laine (disebut juga Madjulin) yang berbahasa arab, dan telah diceritakan kembali dalam bentuk film di mesir dengan judul Dumu El-Hub (Airmata Cinta). Tuduhan tersebut diungkap dan docoba dibuktkan dalam sebuah buku setebal 238 halaman dengan judul yang sangat profokatif “Aku Mendakwa Hamka Plagiat” yang ditulis oleh Muhidin M Dahlan.
Kasus plagiarisme juga tidak hanya menyerang plagiator, sang tokoh utama, pelaku langsung plagiarisme. Tapi juga menimpa media yang menerbitkan sastra plagiat tersebut. Baru-baru ini, kredibilitas kompas sebagai salah satu barometer cerpen dan pencetak cerpenis sastra menjadi perbincangan para pemerhati sastra.  “Saya sangat kecewa dengan cerpen yang dimuat di Kompas, 30 Januari 2011. Cerpen Perempuan Tua dalam Rashomon, yang ditulis oleh Saudara Dadang Ari Murtono, adalah cerpen PLAGIAT dari cerpen berjudul RASHOMON karya Akutagawa Ryunosuke.” Berikut kutipan surat pembaca yang dialamatkan ke Redaktur kompas sebagai bentuk kekecewaan dan koreksi seorang cerpenis dan pemerhati sastra Bemby Cahyadi.[3] Seperti polemik-polemik sebelumnya kasus tersebut kemudian begitu ramai diperbincangkan di sosial media. Sekali lagi, kasus plagiarisme ketika telah bergulir ke masyarakat kemudian tidak hanya menyeret pelaku tapi juga media yang menaungi bahkan redaktur yang meloloskan sastra plagiat tersebut.
Mengingat begitu banyak kasus yang terjadi serta betapa buruk dan luas dampaknya, Plagiarisme sastra memang tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Karya yang terbukti plagiat harus segera diungkap. Plagiator harus mengakui dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bahkan, menurut salah seorang pengarang yang juga pemerhati sastra asal sulsel, Khrisna Pabichara mengungkapkan betapa “kejam”-nya tindakan plagiarisme tersebut. 
“Bagi saya, mengarang itu adalah kegiatan intelektual. Mengakui karya orang lain sebagai karya sendiri berarti melakukan kejahatan intelektual. Jika kita membiarkan hal itu terjadi, berarti kita membiarkan kejahatan intelektual terjadi. Kejahatan ini tidak hanya merugikan nama pelaku tapi juga mencemarkan nama bangsa.
Menetapkan Status Plagiator          
              Namun demikian seperti yang diungkapkan pada awal tulisan yakni sastra memiliki dimensi yang begitu luas. Menafsirkan pengertian “sastra” itu sendiri para teoritikus sastra akhirnya saling menyerang, menyangsikan dan menentang. Begitu pula dengan penetapan seorang sastrawan sebagai “Plagiator” akan ada yang menantang dan membela. Oleh karena itu penghakiman seorang sastrawan sebagai plagiator dan karya sastranya sebagai plagiat haruslah sangat hati-hati dan melalui proses penelitan ilmiah dan mendalam. Bagaimanapun menghakimi secara reaktif tanpa bukti yang jelas akan mempengaruhi dan mencemarkan nama baik sang sastrawan, juga karya sastranya. Dan jika salah, sang sastrawan dapat melaporkan penuduh ke ranah hukum. Seperti pada kasus tuduhan plagiarisme atas puisi dengan judul “Kerendahan Hati” yang disebut-sebut menjiplak karya Douglas Malloch yang dialamatkan kepada Taufik Ismail penyair papan atas Indonesia ternyata salah, Taufik Ismail akhirnya melaporkan Bramantyo Prijosusilo sebagai penyebar tuduhan tersebut.  
            Status plagiat yang juga menimpa Buya Hamka atas karya Musthafa al-Manfaluthi berjudul Magdalaine (disebut juga Madjdulin) yang berbahasa Arab atas karyanya yang tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1938) merupakan polemik yang masih belum tuntas. Sebagian masih meyakini bahwa karya ini memang plagiat, sebagian yang lain berpendapat bahwa tuduhan tersebut adalah bentuk pembunuhan karakter. HB Jassin kemudian mengutarakan pembelaanya  
”Memang ada kemiripan plot, ada pikiran- pikiran dan gagasan-gagasan yang mengingatkan kepada Magdalena, tetapi ada pengungkapan sendiri, pengalaman sendiri, permasalahan sendiri. Sekiranya ada niat pada Hamka untuk menyadur Magdalena Manfaluthi, kepandaiannya melukiskan lingkungan masyarakat dan menggambarkan alam serta manusianya, kemahirannya melukiskan seluk-beluk adat istiadat serta keahliannya membentangkan latar belakang sejarah masyarakat Islam di Minangkabau, mengangkat ceritanya itu jadi ciptaan Hamka sendiri….” Ditambahkannya, ”Anasir pengalaman sendiri dan pengungkapan sendiri demikian kuat, hingga tak dapat orang bicara tentang jiplakan, kecuali kalau tiap hasil pengaruh mau dianggap jiplakan. Maka, adalah terlalu gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang copet di Senen.”
                Kasus terbaru, penulis menemukan sebuah tulisan pada kompasiana yang diposting 13 April 2012 berjudul Negeri Lima Menara dan Plagiarisme Modern Indonesia.” Dalam tulisan tersebut secara gamblang Ferdy Mursali, menyatakan analisisnya terhadap plagiarisme yang dilakukan A fuadi “Dalam kasus N5M dan AAC dan LP tampak jelas banyak ide di dalam AAC maupun LP telah diplagiat oleh Ahmad Fuadi[4].” Demikian kalimat tuduhan yang dialamatkan pada A Fuadi penulis novel Negeri 5 Menara.
            Pada akhirnya menentukan status plagiat memang harus menggunakan ketelitian, karena bisa saja karya yang dimaksud plagiat sesungguhnya hanya mendapat pengaruh dari karya sastra lain. Menurut Alridge: “suatu karya sastra tidak akan terwujud tanpa pengarangnya membaca karya sastra-karya sastra pengarang sebelumnya.” Sama dengan pendapat Prof. Dr. A. Teeuw: “Karya sastra tercipta tidak dalam kekosongan[5].” Dengan kata lain, setiap karya sastra di dunia ini sebenarnya mendapat pengaruh dari karya sastra lain.
Seorang sastrawan tidak mungkin menciptakan sebuah karya sastra bermutu tanpa membaca karya-karya sastra bermutu pula. Dalam sebuah diskusi kepenulisan, penyair terkenal asal Makassar Aan Mansyur mengatakan bahwa mengarang bagaikan menciptakan warna baru, untuk menciptakan warna baru tentu saja pengarang harus kaya dalam mengetahui semua jenis warna hingga pada suatu saat dia mampu menciptakan warna baru yang berbeda.
            Dalam ilmu sastra bandingan sendiri, terdapat lima aspek yang harus diperhatikan dalam  mengkaji asal-usul sebuah karya sastra, yaitu: 1) pengaruh; 2) saduran (adaptasi); 3) jiplakan (plagiat); 4) peniruan (imitasi); 5) terjemahan[6].
Kompleksnya polemik plagiarisme mungkin tidak dapat diputuskan begitu saja. Karena polemik sastra akan bertambah seiring pesatnya perkembangan karya sastra dari masa ke masa. Oleh karena itu kebutuhan terhadap ilmu-ilmu sastra yang dapat menjawab dan membuktikan status plagiat dalam sebuah karya sastra juga para peneliti sastra yang ahli tidak dapat ditawar lagi. Bahkan kedepannya penulis berharap akan ada sebuah lembaga yang fokus terhadap kasus-kasus plagiarisme, yang didalamnya terdapat para ahli yang dapat meneliti, membuktikan serta mempertanggungjawabkan status plagiat dalam karya sastra secara ilmiah.




[1] Dalam  Siti Charmrmah Teori Penelitian Sastra 2001
[2] http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php. KBBI dalam Jaringan, diakses 22 April 2011
[3] http://manuskripdody.blogspot.com/. Surat Pembaca [untuk Redaktur Desk Non Berita KOMPAS] diakses 27 April 2011
[4] http://www.kompasiana.com/. Negeri Lima Menara dan Plagiarisme Modern Indonesia
[5] Raminah Babarin. Sastra Bandingan. 2003
[6]  Ibid

Note : Tulisan ini adalah Esai Terbaik dalam Lomba Festival Sastra Indonesia II yang diadakan oleh IMSI 2012

Komentar

Amry Enggang mengatakan…
Artikel yang luar biasa. Saya jadi malu mencari-cari tentang kasus plagiat sastra. ternyata dalam artikel ini, daftar pustakanya menggunakan buku dosen saya. terimakasih artikelnya. saya tunggu kunjungan balasannya di engganghitam.blogspot.com

Postingan populer dari blog ini

Catatan Kecil Untuk Diriku...

Dalam perjalanan hidup, terkadang kita terlalu banyak memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak akan terjadi. Pikiran-pikiran negatif, perasaan-perasaan yang tidak seharusnya. Pikiran dan perasaan itu lalu menumpuk, bagaikan benang kusut yang kita tidak pernah tahu, bagaimana dan kapan akan berakhir. Pada titik itu, kita dilanda depresi. Suatu hal yang sebenarnya ilusi yang kita ciptakan sendiri. Jika berada di titik itu, tariklah nafas. Terima keadaan, terima dirimu, dan selalu yakin bahwa Allah selalu ada, dimanapun dan bagaimanapu  kondisi kita. Berikan waktu untuk diri, mulaikah pikirkan hal-hal yang baik dan indah, tentang semua hal yang kita lewati, tentang semua rintangan yang telah kita hadapi. Singkirkan satu persatu kecemasan yang tidak semestinya. Mulailah membuat impian, pikirkan langkah-langkah kecil yang akan membuat semuanya menjadi lebih indah. Jika terdapat hambatan, yakinlah itu hanya ujian untuk membuatmu semakin kuat. Membuat cerita dalam perjalanan hidupmu ak

Merayakan Aksara dalam Dekapan Keindahan Banggai

Luwuk , saya telah lama mendengar nama kota ini, adalah ibukota kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Beberapa sanak saudara saya, merantau dan akhirnya menetap di sana, pun mertua saya pernah menetap beberapa tahun di salah satu kacamatan di Banggai . Setiap mereka pulang ke kampung halaman, oleh-oleh berupa ikan asin dan cumi kering menjadi makanan yang selalu kami tunggu, hal tersebut membuktikan bahwa potensi kekayaan bahari Banggai begitu melimpah. Hal ini tak mengherankan karena sebagaian besar wilayahnya merupakan lautan yaitu sekitar 20.309,68 km2 dengan garis pantai sepanjang 613,25 km2, tentu saja menyimpan kekayaan bahari yang berlimpah.   Tidak hanya itu wilayah daratanya dengan luas 9.672,70 km2, dengan keanekaragaman tipografi berupa pegunungan, perbukitan dan dataran randah. Tanahnya menyimpan kesuburan, berbagai buah-buahan dapat tumbuh subur ranum. Bulan kemarin saya bahkan mendapat kiriman buah naga dan salak yang sangat manis dari saudara di Luwuk .  Da

Cenning Rara

Di luar angin berhembus pelan, namun menipkan udara dingin hingga menembus sumsum tulang rusuk, masuk lebih dalam menghujam hati.  “Ibu, aku begitu rindu, sangat. Namun, apakah aku mampu untuk pulang? Ibu, bisakah aku mengatakan tidak. Haruskah aku kembali menghianatimu.  “Maaf Mak.” Uleng memendang bulan, air mata jatuh, menganak sungai. Hatinya tersandra dilema. Andi Cahaya Uleng, nama yang indah seindah artinya, cahaya bulan. Namun sayang, malam ini, untuk kesekian kalinya, hatinya dilanda prahara.  Yah, setiap kali rencana penghianatan menuntut dan berontak dibenaknya, bayangan cinta itu selalu hadir, membelai, menghangatkan, menenangkan. Bayangan cinta itu, yang tidak akan pernah pergi dari benaknya, bahkan nama yang indah itu juga pemberian cinta dari sang Ibu yang disapanya “Emmak”. Bayangan Emmak setia datang menemani, bahkan saat Emmak jauh. Aura cinta Emmak tak pernah pudar, bahkan semakin terasa. Angan-angan Uleng melambung jauh. Lagi, merasakan cinta tak bersyarat Emmak. Ya