Langsung ke konten utama

TANDA JODOH



Jodoh itu suatu saat akan datang, entah kapan, entah siapa juga entah di mana. Tak ada yang mengetahuinya secara tepat. Tidak juga aku, kau ataupun dia. Tapi, akhir-akhir ini permbicaraan serta diskusi-diskusi kita akhirnya sampai juga pada pembahasan tentang Jodoh.
Wajar, bukankah kita telah menyelesaikan studi dengan sukses. Gelar sarjana telah tersematkan di belakang nama kita. Foto wisuda telah terpampang di ruang tamu. Bukan hanya itu, satu klipping tebal dekumentasi tulisan-tulisan yang pernah memenangi lomba serta yang pernah menghiasi media massa telah terkumpul dengan cantik, ditambah satu bundel map tebal berisikan sertifikat seminar, training, dan piagam pernghargaan. Pidala-piala. Lalu, apanya yang kurang.?
Oh yah, tak ketinggalan koleksi buku yang selalu saja tak pernah cukup. Semua telah diboyong ke kampung halaman, terpajang di ruang tamu. Menjadi kebanggan orang tua yang selalu diceritakan berulang-ulang pada setiap tamu yang datang. Lalu, diskusi kita tentang jodoh akhirnya berhenti sejenak pada sebuah kesimpulan, bahwa dia akan datang pada waktu dan tempat yang tepat, akan indah pada waktunya. 
Tapi, aku sering kali berpikir apa makna segudang prestasi itu jika kita hanya sukses sendiri. Jika makna sukses itu, hanya terpajang oleh nilai A yang berjejer rapi, perolehan piala, koleksi sertifikat. Lalu kita tidak melakukan apa-apa. Hm... apa yang telah kita lakukan untuk negeri ini jika semua penghargaan hanya berisi namamu seorang. Mungkin hal itu yang membuat aktivis-aktivis kiri lebih memilih membela nasib para buruh ketimbang memperbaiki IPK mereka yang bertabur bintang Eror. Bukankah, mereka langsung berperan langsung dalam menyelesaikan masalah rakyat.
Lalu kita terkadang berdebat. Kau bilang, kau bahkan cenderung lebih menyukai laki-laki dengan idealisme yang tagline-nya anti kemapanan, mereka yang peduli terhadap nasib rakyat ketimbang laki-laki berprestasi tinggi, tapi hedonis. Hanya mementingkan diri sendiri. Ah, kau memang berbeda, jika perempuan lain mencari sosok laki-laki dengan mobil mewah, prestasi selangit, kau malah cukup dengan status aktivis yang peduli dengan kaum papah.
Lalu kali ini aku mendebatmu. Aku rasa mereka aneh, kenapa mereka harus anti kemapanan, bahkan cenderung kotor dan semena-mena dalam penampilan. Lalu apa yang salah dengan laki-laki berprestasi, bukankan dengan cara mereka berprestasi mereka memberikan inspirasi pada orang lain. Bukankah itu juga berdakwah. Berdakwah dengan cara yang berbeda, bukankan dakwah itu punya sisi yang luas.
Kami lalu tertawa, yah idealnya kami memimpikan seorang lelaki yang tidak hanya peduli pada dirinya sendiri, tidak hedonis, dia haruslah seseorang dengan karakter seorang pejuang, juga berprestasi. Tidak harus kan, perjuangan itu harus dibayar dengan IPK yang jongkok. Seorang pejuang yang sesungguhnya harus mampu menyeimbangkan antara kepentingan dirinya dan masyarakat. Bagaimana ia bisa memimpin masyarakat kalau penampilannya atau nilainya sama sekali tidak diperhatikan olehnya. Namun, hanya berfokus pada tataran akademik pun tersasa terlalu naif. Individualis. Lalu di mana hendak di cari sesosok pria seperti itu? Apakah kau memiliki kenalan seperti itu?
***
Saya jadi mengingat masa-masa itu. Masa  kuliah kita, yah kita mencoba berlari lebih cepat.  Lalu, seiring waktu, sebelum menyelesaikan studi. Seberkas cahaya iman datang menelusup di hati juga menerobos fikiran, menciptakan sebuah revolusi yang dasyat dalam diri. Kita mencoba menyeimbangkan karir dan dakwah. Hal, yang begitu sulit.
Tapi kita beruntung, Allah selalu punya jalan untuk orang-orang yang berusaha. Akh, aku sudah lupa berapa kali kita jatuh, berapa kali kita gagal. Berapa kali kita terjerembab. Tapi, kita selalu bangkit. Allah memeluk doa-doa kita.
Kalau mencoba menarik garis waktu antara hari ini dan masa lalu. Tentu dulu, kita sangat lucu juga lugu, anak-anak kampung yang merantau ke kampung orang, kuliah di Universitas ternama dengan pengetahuan dan pengalaman yang pas-pasan. Tentulah akhirnya tenggelam di antara lautan manusia berprestasi.
Tapi, kita mencoba berlari lebih cepat,  dan selalu ingin tahu dan mencoba segala hal-hal yang baru. Kita memasuki satu demi- satu organisasi yang populer. Karena status kita sebagai mahasiswa sastra, masuklah kita ke salah satu organisasi kepenulisan. Di sanalah kita bertemu dengan orang-orang hebat, dan bermimpi pula menjadi orang yang berguna untuk orang lain. Tapi, apa yang akan kita tulis, tanpa pengetahuan.
Maka Allah kembali memberikan taburan cahayanya. Kita terbimbing ikut dalam sebuah pergerakan ideologis. Tapi, sungguh malu jika mengingat kenangan masa lalu, jika kita bergabung bukan untuk dakwah. Kita hanya ingin memuaskan dahaga intelektual kita. Licik.  Sampai suatu hari kita sadar, kita menyesal. Bahwa memang, kita membutuhkan dakwah, kita harus memperjuangkan keadilan di muka bumi Allah dengan sungguh-sungguh, tanpa pamrih, dengan ketulusan yang murni.
Dan diskusi-diskusi itu akan selalu kita kenang. Diskusi-diskusi di bawah perpustakaan, yang diselenggarakan oleh para awak Koran kampus. Kita terlalu berani waktu itu, menantang pendapat pemateri yang pikirannya liberal dengan ilmu Islam kita yang dangkal, yang baru satu tahun kita tekuni. Maka dua tahun berturut-turut, kita kalah telak, dihujani dengan peluru retorika yang hebat dari para pemateri ulung itu. Hm… Tunggu saja, suatu saat kami akan datang kembali, beberapa tahun yang akan datang dengan ilmu dan penalaman yang lebih banyak. Sebuah kewajaran jika kalah saat itu. Dan, paling tidak, kakak-kakak pemateri yang telah memberangus pendapat kami tanpa belas kasihan, saya yakin, mereka akan paham suatu saat nanti.
 Di dalam hati kecil kami, doa itu selalu ada, semoga mereka akan memahami Islam dan menjadi pejuang Islam. Mungkin karena mereka belum mengerti, kita tidak pernah tahu kapan dan kepada siapa Allah akan memberikan hidayahnya. Bagaimana pun mereka adalah orang-orang keren dan hebat. Suatu kebanggaan tersendiri, bisa berduel retorika dengan mereka.
Oh yah, entah sejak kapan saya suka dengan aksi. Mungkin setelah menontoh film GIE. Mahasiswa terlihat sangat keren, dengan jas almamaternya lalu meneriakkan hak-hak rakyat yang dibantai oleh penguasa. Kita pernah membenci aksi, yang biasa disebut demo. Mereka membakar ban, menyandera mobil. Tahukah mereka bahwa mereka menyandera hak-hak pengguna jalan. Di antara kemacetan panjang itu, mungkin saja ada ibu yang nyawanya melayang, mungkin ada anak yang kehilangan ayahnya karena terhalang demo menuju rumah sakit. Apa mereka lupa dengan hadis rasulullah, yang …. Padahal, sebagian besar diantara pendemo itu kuliah di universitas Islam.Saya tidak suka, kau juga bukan?
Tapi semua berubah. Ternyata masih ada banyak orang yang mengerti hakikat perjuangan yang sesungguhnya. Bukan berdemo karena ikut-ikutan. Bukan bosan dengan tumpukan tugas dari dosen. Bukan pelampiasan degan teriak untuk menghilangkan rasa galau. Tapi, mereka datang karena panggian hati nurani. Karena hukum Islam benar-benar dilecehkan. Siapa yang tidak marah jika, Islam yang memuliakan hubungan perempuan dan laki-laki kemudian dilecehkan dengan peraturan tidak masuk akal. Anak-anak SMA akan dibagikan kondom gratis oleh menteri. Atas dalih tingginya angka HIV. Siapa yang tidak jengkel, kalau BBM harus naik di negeri yang minyaknya tidak pernah berhenti mengalir. Aktivis Islam mana yang tidak gerah ketika hukum-hukum Allah dicampakkan begitu saja.
     Maka ada yang keren dengan aksi kita. Ribuan orang berkumpul dengan semangat sama, mereka terdiri dari berbagai lapisan masyarakat. Ada mahasiswa, dosen, ibu-ibu, bapak-bapak, penjual sayur, ulama, bahkan anak-anak. Ada yang berbeda dengan mereka, barisan lelaki dan perempuan dipisahkan. Namun, mereka melebur dalam semangat yang satu, mensosialisasikan hukum-hukum Allah pada masyarakat. Wajah-wajah mereka dipenuhi cahaya, panas matahari tak berkutik dengan semangat mereka. Keringat yang membanjiri semakin memompa ketulusan mereka.
Sungguh, apa arti sukses jika kita hanya meraihnya sendiri. Maka, di tahun terakhir studi kita, Beserta Yah sukses dengan segudang prestasi yang kita punya. Kita pernah berlari bersama, mengejar mimpi. Bercerita tentang indahnya menggapai kaki pelangi.
Hei, aku bercerita apa? Sudah terlalu panjang dan lebar pembahasan kita, bukankah tadi kita bercerita tentang Jodoh? Lalu kepada siapa kau akan melabuhkan hatimu?
Kau tersenyum lalu berkata, aku akan melabuhkan hatiku pada lelaki yang akan datang ke rumahku, meyakinkan ayah bahwa dia pantas untukku.
***
Aku, kini hendak me-LogOut akun facebook-ku, setelah ber-chat ria setelah beberapa tahun kita tidak bertemu. Terakhir kita bertemu, pembahasan kita menenai jodoh. Kini kau sudah menemukan jodohmu, aku membuka foto-foto walimahanmu yang kau kirim via pesan di fb. Kita berpisah kini, dipisahkan ribuan kilometer. Kini kau bersama dengannya, seorang lelaki yang selalu membawakan gerimis yang mengundang pelangi untukmu. Hei, bukankah dia salah satu kakak pemateri yang dulu memberangus pendapat kita pada diskusi itu? Aku hampir tidak mengenalinya, ternyata dia sangat manis setelah mengubah penampilannya ala “ikhwan”. Kau hebat, kau berhasil menahlukkannya, ah atau dia yang berhasil menahlukkanmu? Yang jelas kalian sekarang berjuang bersama, menuju jalan cahaya.
Lalu bagaimana denganku? Aku masih menanti ditemukan, oleh seseorang yang aku yakin telah dipersiapkan Allah untukku. Kau, telah memberitahuku tanda-tanda jodoh. Entah siapa dan berada di belahan bumi mana dirinya sekarang. Mungkin kami sedang menatap langit yang sama dari tempat berbeda, dan suatu saat akan ada sekenario yang mempertemukan kami. Aku yakin.
Aku men-shut down laptop lalu memejamkan mata, berdoa pada-Nya “Ya Allah, pertemukanlah aku dengan seorang Imam yang dapat menuntunku menuju syurga-Mu” 


-Selesai-

Note : Akhirnya cerpen ini selesai juga, special thanks to Mbak Ika udah mau menjadi pembaca pertama dan menemani sehingga saya menemukan endingnya. Cerpen ini saya tulis 1 maret 2013 wow lama banget mengendap. Alhamdulillah selesai juga...

Kampung Inggris, 29 Juni 2014
Pare I’m in Love
"Pelangimu"





Komentar

safaruddin mengatakan…
Bolelah...
bagus tulisannya

Postingan populer dari blog ini

Catatan Kecil Untuk Diriku...

Dalam perjalanan hidup, terkadang kita terlalu banyak memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak akan terjadi. Pikiran-pikiran negatif, perasaan-perasaan yang tidak seharusnya. Pikiran dan perasaan itu lalu menumpuk, bagaikan benang kusut yang kita tidak pernah tahu, bagaimana dan kapan akan berakhir. Pada titik itu, kita dilanda depresi. Suatu hal yang sebenarnya ilusi yang kita ciptakan sendiri. Jika berada di titik itu, tariklah nafas. Terima keadaan, terima dirimu, dan selalu yakin bahwa Allah selalu ada, dimanapun dan bagaimanapu  kondisi kita. Berikan waktu untuk diri, mulaikah pikirkan hal-hal yang baik dan indah, tentang semua hal yang kita lewati, tentang semua rintangan yang telah kita hadapi. Singkirkan satu persatu kecemasan yang tidak semestinya. Mulailah membuat impian, pikirkan langkah-langkah kecil yang akan membuat semuanya menjadi lebih indah. Jika terdapat hambatan, yakinlah itu hanya ujian untuk membuatmu semakin kuat. Membuat cerita dalam perjalanan hidupmu ak

Merayakan Aksara dalam Dekapan Keindahan Banggai

Luwuk , saya telah lama mendengar nama kota ini, adalah ibukota kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Beberapa sanak saudara saya, merantau dan akhirnya menetap di sana, pun mertua saya pernah menetap beberapa tahun di salah satu kacamatan di Banggai . Setiap mereka pulang ke kampung halaman, oleh-oleh berupa ikan asin dan cumi kering menjadi makanan yang selalu kami tunggu, hal tersebut membuktikan bahwa potensi kekayaan bahari Banggai begitu melimpah. Hal ini tak mengherankan karena sebagaian besar wilayahnya merupakan lautan yaitu sekitar 20.309,68 km2 dengan garis pantai sepanjang 613,25 km2, tentu saja menyimpan kekayaan bahari yang berlimpah.   Tidak hanya itu wilayah daratanya dengan luas 9.672,70 km2, dengan keanekaragaman tipografi berupa pegunungan, perbukitan dan dataran randah. Tanahnya menyimpan kesuburan, berbagai buah-buahan dapat tumbuh subur ranum. Bulan kemarin saya bahkan mendapat kiriman buah naga dan salak yang sangat manis dari saudara di Luwuk .  Da

Cenning Rara

Di luar angin berhembus pelan, namun menipkan udara dingin hingga menembus sumsum tulang rusuk, masuk lebih dalam menghujam hati.  “Ibu, aku begitu rindu, sangat. Namun, apakah aku mampu untuk pulang? Ibu, bisakah aku mengatakan tidak. Haruskah aku kembali menghianatimu.  “Maaf Mak.” Uleng memendang bulan, air mata jatuh, menganak sungai. Hatinya tersandra dilema. Andi Cahaya Uleng, nama yang indah seindah artinya, cahaya bulan. Namun sayang, malam ini, untuk kesekian kalinya, hatinya dilanda prahara.  Yah, setiap kali rencana penghianatan menuntut dan berontak dibenaknya, bayangan cinta itu selalu hadir, membelai, menghangatkan, menenangkan. Bayangan cinta itu, yang tidak akan pernah pergi dari benaknya, bahkan nama yang indah itu juga pemberian cinta dari sang Ibu yang disapanya “Emmak”. Bayangan Emmak setia datang menemani, bahkan saat Emmak jauh. Aura cinta Emmak tak pernah pudar, bahkan semakin terasa. Angan-angan Uleng melambung jauh. Lagi, merasakan cinta tak bersyarat Emmak. Ya