Jodoh itu suatu saat akan datang, entah kapan, entah siapa juga
entah di mana. Tak ada yang mengetahuinya secara tepat. Tidak juga aku, kau
ataupun dia. Tapi, akhir-akhir ini
permbicaraan serta
diskusi-diskusi kita akhirnya sampai juga
pada pembahasan tentang
Jodoh.
Wajar, bukankah kita telah menyelesaikan studi dengan sukses. Gelar
sarjana telah tersematkan di belakang
nama kita. Foto wisuda telah terpampang di ruang tamu. Bukan hanya itu, satu
klipping tebal dekumentasi
tulisan-tulisan yang pernah memenangi lomba
serta
yang pernah menghiasi
media massa telah terkumpul dengan cantik,
ditambah satu bundel map tebal berisikan sertifikat
seminar, training, dan
piagam pernghargaan. Pidala-piala. Lalu, apanya yang kurang.?
Oh yah, tak ketinggalan koleksi buku yang selalu saja tak pernah cukup. Semua telah
diboyong ke kampung
halaman, terpajang di ruang tamu.
Menjadi kebanggan orang tua yang selalu diceritakan berulang-ulang pada setiap
tamu yang datang. Lalu, diskusi kita tentang jodoh akhirnya berhenti sejenak
pada sebuah kesimpulan, bahwa dia akan datang pada waktu dan tempat yang tepat,
akan indah pada waktunya.
Tapi, aku sering kali
berpikir apa makna segudang prestasi itu jika kita hanya
sukses sendiri. Jika makna
sukses itu, hanya terpajang oleh nilai A yang berjejer rapi,
perolehan piala, koleksi sertifikat. Lalu kita tidak melakukan apa-apa. Hm... apa yang telah kita lakukan untuk negeri ini
jika semua penghargaan hanya berisi namamu seorang. Mungkin hal itu yang membuat
aktivis-aktivis kiri lebih memilih membela nasib para buruh ketimbang
memperbaiki IPK mereka yang bertabur bintang Eror. Bukankah, mereka langsung berperan langsung dalam
menyelesaikan masalah rakyat.
Lalu kita terkadang berdebat. Kau bilang, kau bahkan
cenderung lebih menyukai laki-laki dengan idealisme yang tagline-nya anti kemapanan, mereka yang peduli terhadap nasib
rakyat ketimbang laki-laki berprestasi tinggi, tapi hedonis. Hanya mementingkan
diri sendiri. Ah, kau memang berbeda, jika perempuan lain mencari sosok
laki-laki dengan mobil mewah, prestasi selangit, kau malah cukup dengan status
aktivis yang peduli dengan kaum papah.
Lalu kali ini aku mendebatmu. Aku rasa mereka aneh, kenapa
mereka harus anti kemapanan, bahkan cenderung kotor dan semena-mena dalam
penampilan. Lalu apa yang salah dengan laki-laki berprestasi, bukankan dengan
cara mereka berprestasi mereka memberikan inspirasi pada orang lain. Bukankah
itu juga berdakwah. Berdakwah dengan cara yang berbeda, bukankan dakwah itu
punya sisi yang luas.
Kami lalu tertawa, yah idealnya kami memimpikan seorang
lelaki yang tidak hanya peduli pada dirinya sendiri, tidak hedonis, dia
haruslah seseorang dengan karakter seorang pejuang, juga berprestasi. Tidak harus
kan, perjuangan itu harus dibayar dengan IPK yang jongkok. Seorang pejuang yang
sesungguhnya harus mampu menyeimbangkan antara kepentingan dirinya dan
masyarakat. Bagaimana ia bisa memimpin masyarakat kalau penampilannya atau
nilainya sama sekali tidak diperhatikan olehnya. Namun, hanya berfokus pada
tataran akademik pun tersasa terlalu naif. Individualis. Lalu di mana hendak di
cari sesosok pria seperti itu? Apakah kau memiliki kenalan seperti itu?
***
Saya jadi mengingat masa-masa itu. Masa kuliah kita, yah kita mencoba berlari lebih cepat. Lalu,
seiring waktu, sebelum menyelesaikan studi. Seberkas cahaya iman
datang menelusup di hati juga menerobos fikiran, menciptakan
sebuah revolusi yang dasyat dalam diri. Kita
mencoba menyeimbangkan karir dan dakwah. Hal, yang begitu sulit.
Tapi kita beruntung, Allah selalu punya jalan untuk
orang-orang yang berusaha. Akh, aku sudah lupa berapa kali kita jatuh, berapa
kali kita gagal. Berapa kali kita terjerembab. Tapi, kita selalu bangkit. Allah
memeluk doa-doa kita.
Kalau mencoba menarik garis waktu antara hari ini dan
masa lalu. Tentu dulu, kita sangat lucu juga
lugu, anak-anak kampung yang merantau ke kampung
orang, kuliah di Universitas ternama dengan pengetahuan dan pengalaman yang
pas-pasan. Tentulah akhirnya
tenggelam di antara
lautan manusia berprestasi.
Tapi, kita mencoba berlari lebih cepat, dan
selalu ingin tahu dan mencoba segala hal-hal yang baru.
Kita memasuki satu demi- satu organisasi yang populer. Karena status kita sebagai mahasiswa
sastra, masuklah kita ke salah satu organisasi kepenulisan. Di sanalah kita
bertemu dengan orang-orang hebat, dan bermimpi pula menjadi orang yang berguna
untuk orang lain. Tapi, apa yang akan kita tulis, tanpa pengetahuan.
Maka Allah kembali memberikan taburan cahayanya. Kita
terbimbing ikut dalam sebuah pergerakan ideologis. Tapi, sungguh malu jika
mengingat kenangan masa lalu, jika kita bergabung bukan untuk dakwah. Kita
hanya ingin memuaskan dahaga intelektual kita. Licik. Sampai suatu hari kita sadar, kita menyesal.
Bahwa memang, kita membutuhkan dakwah, kita harus memperjuangkan keadilan di
muka bumi Allah dengan sungguh-sungguh, tanpa pamrih, dengan ketulusan yang
murni.
Dan diskusi-diskusi itu akan selalu kita kenang.
Diskusi-diskusi di bawah perpustakaan, yang diselenggarakan oleh para awak
Koran kampus. Kita terlalu berani waktu itu, menantang pendapat pemateri yang
pikirannya liberal dengan ilmu Islam kita yang dangkal, yang baru satu tahun
kita tekuni. Maka dua tahun berturut-turut, kita kalah telak, dihujani dengan
peluru retorika yang hebat dari para pemateri ulung itu. Hm… Tunggu saja, suatu
saat kami akan datang kembali, beberapa tahun yang akan datang dengan ilmu dan
penalaman yang lebih banyak. Sebuah kewajaran jika kalah saat itu. Dan, paling
tidak, kakak-kakak pemateri yang telah memberangus pendapat kami tanpa belas
kasihan, saya yakin, mereka akan paham suatu saat nanti.
Di dalam hati
kecil kami, doa itu selalu ada, semoga mereka akan memahami Islam dan menjadi
pejuang Islam. Mungkin karena mereka belum mengerti, kita tidak pernah tahu
kapan dan kepada siapa Allah akan memberikan hidayahnya. Bagaimana pun mereka
adalah orang-orang keren dan hebat. Suatu kebanggaan tersendiri, bisa berduel
retorika dengan mereka.
Oh yah, entah sejak kapan saya suka dengan aksi. Mungkin
setelah menontoh film GIE. Mahasiswa terlihat sangat keren, dengan jas
almamaternya lalu meneriakkan hak-hak rakyat yang dibantai oleh penguasa. Kita
pernah membenci aksi, yang biasa disebut demo. Mereka membakar ban, menyandera mobil.
Tahukah mereka bahwa mereka menyandera hak-hak pengguna jalan. Di antara
kemacetan panjang itu, mungkin saja ada ibu yang nyawanya melayang, mungkin ada
anak yang kehilangan ayahnya karena terhalang demo menuju rumah sakit. Apa
mereka lupa dengan hadis rasulullah, yang …. Padahal, sebagian besar diantara
pendemo itu kuliah di universitas Islam.Saya tidak suka, kau juga bukan?
Tapi semua berubah. Ternyata masih ada banyak orang yang
mengerti hakikat perjuangan yang sesungguhnya. Bukan berdemo karena ikut-ikutan.
Bukan bosan dengan tumpukan tugas dari dosen. Bukan pelampiasan degan teriak
untuk menghilangkan rasa galau. Tapi, mereka datang karena panggian hati
nurani. Karena hukum Islam benar-benar dilecehkan. Siapa yang tidak marah jika,
Islam yang memuliakan hubungan perempuan dan laki-laki kemudian dilecehkan
dengan peraturan tidak masuk akal. Anak-anak SMA akan dibagikan kondom gratis
oleh menteri. Atas dalih tingginya angka HIV. Siapa yang tidak jengkel, kalau
BBM harus naik di negeri yang minyaknya tidak pernah berhenti mengalir. Aktivis
Islam mana yang tidak gerah ketika hukum-hukum Allah dicampakkan begitu saja.
Maka ada yang keren dengan aksi kita. Ribuan
orang berkumpul dengan semangat sama, mereka terdiri dari berbagai lapisan
masyarakat. Ada mahasiswa, dosen, ibu-ibu, bapak-bapak, penjual sayur, ulama,
bahkan anak-anak. Ada yang berbeda dengan mereka, barisan lelaki dan perempuan
dipisahkan. Namun, mereka melebur dalam semangat yang satu, mensosialisasikan
hukum-hukum Allah pada masyarakat. Wajah-wajah mereka dipenuhi cahaya, panas
matahari tak berkutik dengan semangat mereka. Keringat yang membanjiri semakin
memompa ketulusan mereka.
Sungguh, apa arti sukses jika kita hanya meraihnya sendiri. Maka, di tahun
terakhir studi kita, Beserta Yah sukses dengan segudang prestasi yang kita
punya. Kita pernah berlari bersama, mengejar mimpi. Bercerita tentang indahnya menggapai kaki pelangi.
Hei, aku bercerita apa? Sudah terlalu panjang dan lebar
pembahasan kita, bukankah tadi kita bercerita tentang Jodoh? Lalu kepada siapa
kau akan melabuhkan hatimu?
Kau tersenyum lalu berkata, aku akan melabuhkan hatiku
pada lelaki yang akan datang ke rumahku, meyakinkan ayah bahwa dia pantas
untukku.
***
Aku, kini hendak me-LogOut akun facebook-ku, setelah ber-chat ria setelah beberapa tahun kita tidak
bertemu. Terakhir kita bertemu, pembahasan kita menenai jodoh. Kini kau sudah
menemukan jodohmu, aku membuka foto-foto walimahanmu yang kau kirim via pesan
di fb. Kita berpisah kini, dipisahkan ribuan kilometer. Kini kau bersama
dengannya, seorang lelaki yang selalu membawakan gerimis yang mengundang
pelangi untukmu. Hei, bukankah dia salah satu kakak pemateri yang dulu
memberangus pendapat kita pada diskusi itu? Aku hampir tidak mengenalinya,
ternyata dia sangat manis setelah mengubah penampilannya ala “ikhwan”. Kau
hebat, kau berhasil menahlukkannya, ah atau dia yang berhasil menahlukkanmu?
Yang jelas kalian sekarang berjuang bersama, menuju jalan cahaya.
Lalu bagaimana denganku? Aku masih menanti ditemukan,
oleh seseorang yang aku yakin telah dipersiapkan Allah untukku. Kau, telah
memberitahuku tanda-tanda jodoh. Entah siapa dan berada di belahan bumi mana
dirinya sekarang. Mungkin kami sedang menatap langit yang sama dari tempat
berbeda, dan suatu saat akan ada sekenario yang mempertemukan kami. Aku yakin.
Aku men-shut down
laptop lalu memejamkan mata, berdoa pada-Nya “Ya Allah, pertemukanlah aku
dengan seorang Imam yang dapat menuntunku menuju syurga-Mu”
-Selesai-
Note : Akhirnya cerpen ini selesai juga, special thanks to Mbak Ika udah mau menjadi
pembaca pertama dan menemani sehingga saya menemukan endingnya. Cerpen ini saya
tulis 1 maret 2013 wow lama banget mengendap. Alhamdulillah selesai juga...
Kampung Inggris, 29 Juni 2014
Pare I’m in Love
"Pelangimu"
Komentar
bagus tulisannya