Langsung ke konten utama

Unhas, PTN-BH, MEA dan Karakter Bangsa


 c4beb0bb-d266-4784-9b54-b61b0f70bc0d

 Oleh A. Asrawaty

Unhas, Universitas Hasanuddin sebuah nama yang menyisakan banyak kenangan di memoriku, sebuah tempat di mana aku akhirnya menemukan jati diriku, memahami hakekat kehidupan, menyelami kedalaman ilmu dan bertemu dengan orang-orang hebat yang mengajarkan banyak hal yang tidak akan saya dapati di tempat lain. 

Kini unhas sedikit banyak telah mengalami perubahan bermetamorfosis dari startus Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum (disingkat PTNBH) terhitung sejak tanggal 22 Juli 2015, Universitas Hasanuddin telah ditetapkan oleh Presiden RI melalui Peraturan Pemerintah  RI No. 53 Tahun 2015 tentang  Statuta Universitas Hasanuddin. PP 53 tersebut mengacu pada ketentuan Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Terlepas dari pro dan kontra yang ada, status ini merupakan sebuah tantangan yang dapat dimanfaatkan sebagai kesempatan emas namun dapat pula menjadi bomerang sekaligus jika arah perubahannya tidak sesuai dengan fungsi sejatinya sebuah tempat menuntut ilmu[1].

Sebelum membahas lebih jauh tentang status baru Unhas sebagai PTNBH, ada baiknya jika kita kembali menelisik bagaimana sejatinya hakikat standar kualitas sebuah perguruan tinggi. Dalam menghadari persaingan di dunia pendidikan sebagai Word Class University. Sejatinya perguruan tinggi di Indonesia haruslah memiliki ciri khas yang sesuai dengan nilai historis dan budaya negeri ini, tidak begitu saja tergiur dengan istilah word class university dengan mengikuti semua langkah tanpa menelaah apakah tujuan tersebut sejalan dengan identitas historis, budaya dan agama bangsa kita. 

Saat ini indikaor sebagai perguruan tinggi kelas dunia adalah rasio kapasitas perminat baik lokal maupun manca negara, jumlah paper internasional yang dihasilkan, dan penyerapan dan persepsi di dunia kerja dan kualitas sarana dan prasarana pendidikan seperti jumlah dan kualitas dosen, perpustakaan, laboratorium serta sarana informasi dan akses internet. Sekilas, semua indikator tersebut menunjukkan keberhasilan sebuah perguruan tinggi ditentukan oleh kuantitas namun minim kualitas. Sejatinya, sebuah perguruan tinggi negeri tidak hanya berfungsi sebagai menara gading namun aplikasinya harus terasa di masyarakat. 

Oleh karena itu kualitas lulusan dan ilmu dari perguruan tinggi haruslah memiliki indikator yang berdaya guna terhadap masyarakat. Seorang ilmuan tidak hanya dituntut ilmunya, namun juga kekuatan karakter dan moral, semakin tinggi pendidikannya maka semakin tinggi pula intergritasnya terhadap keluarga, lingkungan, agama dan masyarakatnya. Indobesia dengan budaya timurnya yang begitu kental dengan pengaruh Islam harusnya dapat mengambil nilai-nilai yang sesuai dengan identitasnya dengan tidak hanya mementingkan kualitas keilmuan namun juga kapasitas keimanan, dengan begitu perguruan tinggi tidak hanya menjadi sebuah menara gading namun betul-betul menjadi mercusuar peradaban. 

Di samping itu bentuk dan rona pendidikan tinggi di era perdagangan bebas semakin perlu kita pahami bersama karena negara-negara akan diarahkan untuk menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya. Dengan kata lain pendidikan dikategorikan salah satu industri sektor tersier, karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengatahuan dan orang yang tidak punya ketrampilan menjadi orang  berpengatahuan dan berketrampilan [2].
 
Berbicara tentang perdagangan bebas, maka salah satu prinsipnya adalah komodifikasi, yaitu proses perdagangan yang berorientasi pada profit oriented, yang sangat tergantung pada kekuatan pasar. Payung kesepakatan GATS/WTO yang sudah diratifikasi tahun 1995 di Marakesh, telah membuat pendidikan menjadi suatu komoditas, sehingga dunia pendidikan tinggi di Indonesia tengah berada dalam arus pusaran kuat komodifikasi yang sekadar melayani pasar (baca: dunia usaha) [3]. Hal inilah yang menjadi kehkawatiran ketika pendidikan dijadikan sebagai komuditas perdagangan karena tentu saja hanya sebagian golongan saja yang nantinya dapat mengakses pendidikan yang lebih menakutkan adalah ketika pendidikan akhirnya terbuka untuk penanaman modal asing dan pemodal asing bisa saja ‘menjual’ ideologi, pandangan hidup (worldview), dan nilai-nilai (values) yang dianutnya, serta memasarkan standar moralnya melalui pengajaran. Hal ini dapat mengaburkan identitas yang hal utama dalam menentukan arah dan tujuan pendidikan dampaknya akan merusak  karakter dan nilai-nilai yang selama ini dianut bangsa ini. 

Namun kemudian, kita tidak dapat memungkiri bahwa kita telah menjadi bagian dari masyarakat dunia yang mau tidak mau harus ikut terlibat langsung dalam sistem pendidikan dunia saat ini. Oleh karena itu pentingnya kembali menyadari arah dan tujuan pendidikan yang sesuai dengan karakter, identitas dan nilai-nilai luhur bangsa ini, agar tidak tergerus dan dapat bersaing di kancah internasional. 

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh perguruan tinggi saat ini adalah Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) di mana. Perguruan tinggi harus mampu mencetak lulusan yang mampu bersaing di dunia kerja yang tidak lagi berhadapan dengan lulusan dalam negeri namun juga persaingan dengan pasar kerja ASEAN. Hal ini tentu saja merupakan sebuah tantang yang sangat besar bagi setiap perguruan tinggi. Oleh karenanya peningkatan kualitas perguruan tunggi yang ditentukan oleh faktor sumber daya manusia (SDM), infrastruktur serta sistem pendidikan yang harus ditunjang dengan sistem tata kelola perguruan tinggi. Hal inilah mungkin yang menjadi dasar sehingga unhas berbenah menjadi PTN-BH.

Dikutip dari situs alumniunhas.com hakikat PTN-BH adalah pemberian otonomi yang lebih luas kepada universitas. Otonomi terdiri atas otonomi akademik dan non akademik. Dengan otonomi di bidang akademik tersebut Unhas memiliki kewenangan mengubah kurikulum, membuka dan menutup program studi. Hal ini memungkinkan Unhas untuk terus menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.  Selanjutnya dibidang non akademik, Unhas dapat melalukan tatakelola sendiri baik manajemen, dan mengelola aset-aset yang dimilikinya dan membangun kemitraan dengan dunia usaha dan lembaga-lembaga lainnya [1].

Sekali lagi, terlepas dari pro dan kontra terhadap PTNBH, pada akhirnya kita tidak bisa menafikan bahwa mau tidak mau kita harus mengikuti perkembangan pendidikan termasuk adanya otonomi tersebut. Penilis  yakin Unhas sebagai perguruan tinggi  yang memiliki visi sesuai dengan karakter dan nilai-nilai bangsa sebagai pusat unggulan dalam pengembangan insani, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya berbasis Benua Maritim Indonesia (BMI). Serta misi Unhas untuk : [a] menyediakan lingkungan belajar  yang berkualitas untuk mengembangkan kapasitas pembelajar yang adaptif-kreatif; [b] melestarikan, mengembangkan, menemukan, dan menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya; [c] menerapkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya berbasis dan untuk kemaslahatan Benua Maritim Indonesia [1]. Dengan visi misi tersebut semoga kedepanya Unhas memiliki karakter pendidikan yang mampu bersaing di kancah internasional.

Dari hati, penulis sebagai alumni Unhas, dengan adanya kapasitas otonomi ini termasuk dalam hal akademik semoga para petinggi kampus dan penentu kebijakan betul-betul kembali pada nilai-nilai karakter ke-Unhasan bukan berdasarkan pada profit semata, tidak menutup atau membuka program studi hanya mengikuti permintaan pasar, namun melihat benar-benar terhadap tujuan dan peran program studi. Kedepannya, semoga dengan otonomi non akademik, hasil dari tata kelola menajemen hingga aset pendidikan diperutukkan untuk sebenar-benarnya pelaksanaan pendidikan dengan menekan biaya pendidikan dan meningkatkan jumlah penerima beasiswa, sehingga lebih banyak masyarakat yang dapat menjangkau dan menyelami ilmu pendidikan di Unhas. Penulis yakin jika Unhas benar-benar dapat mempertahankan identitas ke-Unhasan maka lulusan unhas akan mengalami peningkatan secara kualitas dan kuantitas untuk menghadapi MEA, tentu saja dengan kerja sama semua pihak terutama para civitas akademika unhas. Semoga. Selamat ulang tahun- Ke 60 Unhasku.


Penulis adalah alumni S1 unhas 2012, Mahasiswa Pasca Sarjana Unhas

[1]. http://alumniunhas.com/lomba-blog-60thnunhas-2016-berhadiah-total-rp-15-juta/
[2]. Sofyan Effendi, Menghadapi Liberalisasi Perguruan Tinggi, Harian Seputar Indonesia, 12-13 Maret 2007
[3] Edy Suandi Hamid, Komodifikasi Pendidikan, Republika, 22 Agustus, 2007

Komentar

Catatan Dari Hati mengatakan…
Permisi, juri mampir ya!

Postingan populer dari blog ini

Catatan Kecil Untuk Diriku...

Dalam perjalanan hidup, terkadang kita terlalu banyak memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak akan terjadi. Pikiran-pikiran negatif, perasaan-perasaan yang tidak seharusnya. Pikiran dan perasaan itu lalu menumpuk, bagaikan benang kusut yang kita tidak pernah tahu, bagaimana dan kapan akan berakhir. Pada titik itu, kita dilanda depresi. Suatu hal yang sebenarnya ilusi yang kita ciptakan sendiri. Jika berada di titik itu, tariklah nafas. Terima keadaan, terima dirimu, dan selalu yakin bahwa Allah selalu ada, dimanapun dan bagaimanapu  kondisi kita. Berikan waktu untuk diri, mulaikah pikirkan hal-hal yang baik dan indah, tentang semua hal yang kita lewati, tentang semua rintangan yang telah kita hadapi. Singkirkan satu persatu kecemasan yang tidak semestinya. Mulailah membuat impian, pikirkan langkah-langkah kecil yang akan membuat semuanya menjadi lebih indah. Jika terdapat hambatan, yakinlah itu hanya ujian untuk membuatmu semakin kuat. Membuat cerita dalam perjalanan hidupmu ak

Cenning Rara

Di luar angin berhembus pelan, namun menipkan udara dingin hingga menembus sumsum tulang rusuk, masuk lebih dalam menghujam hati.  “Ibu, aku begitu rindu, sangat. Namun, apakah aku mampu untuk pulang? Ibu, bisakah aku mengatakan tidak. Haruskah aku kembali menghianatimu.  “Maaf Mak.” Uleng memendang bulan, air mata jatuh, menganak sungai. Hatinya tersandra dilema. Andi Cahaya Uleng, nama yang indah seindah artinya, cahaya bulan. Namun sayang, malam ini, untuk kesekian kalinya, hatinya dilanda prahara.  Yah, setiap kali rencana penghianatan menuntut dan berontak dibenaknya, bayangan cinta itu selalu hadir, membelai, menghangatkan, menenangkan. Bayangan cinta itu, yang tidak akan pernah pergi dari benaknya, bahkan nama yang indah itu juga pemberian cinta dari sang Ibu yang disapanya “Emmak”. Bayangan Emmak setia datang menemani, bahkan saat Emmak jauh. Aura cinta Emmak tak pernah pudar, bahkan semakin terasa. Angan-angan Uleng melambung jauh. Lagi, merasakan cinta tak bersyarat Emmak. Ya

Merayakan Aksara dalam Dekapan Keindahan Banggai

Luwuk , saya telah lama mendengar nama kota ini, adalah ibukota kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Beberapa sanak saudara saya, merantau dan akhirnya menetap di sana, pun mertua saya pernah menetap beberapa tahun di salah satu kacamatan di Banggai . Setiap mereka pulang ke kampung halaman, oleh-oleh berupa ikan asin dan cumi kering menjadi makanan yang selalu kami tunggu, hal tersebut membuktikan bahwa potensi kekayaan bahari Banggai begitu melimpah. Hal ini tak mengherankan karena sebagaian besar wilayahnya merupakan lautan yaitu sekitar 20.309,68 km2 dengan garis pantai sepanjang 613,25 km2, tentu saja menyimpan kekayaan bahari yang berlimpah.   Tidak hanya itu wilayah daratanya dengan luas 9.672,70 km2, dengan keanekaragaman tipografi berupa pegunungan, perbukitan dan dataran randah. Tanahnya menyimpan kesuburan, berbagai buah-buahan dapat tumbuh subur ranum. Bulan kemarin saya bahkan mendapat kiriman buah naga dan salak yang sangat manis dari saudara di Luwuk .  Da