Langsung ke konten utama

Membuat Iri jadi Iba

Pernahkah kau merasa iri pada seseorang. Saya pernah iri pada seseorang yang bisa mendapatkan kemauannya hanya dengan mudah dengan hanya pada orang tua. Sedangkan saya, entah kenapa, ada perasaan pantang dalam diri saya untuk meminta pada orang tua, kecuali dalam hal yang benar-benar terpaksa dan saya sangat-sangat membutuhkan. Saya bahkan tidak mengingat, kapan saya terakhir kali meminta bantuan finansial pada orang tua, atau kapan saya pernah meminta dibelikan barang. Hampir tidak pernah. Yah, pernah saya merasa iri, beruntungnya mereka memang memiliki orang tua dengan ekonomi yang cukup, atau mungkin merupakan anak semata wayang sehingga orang tua akan memberikan apa yang mereka inginkan dengan mudah. Namun, belakangan rasa iri itu berubah menjadi rasa iba. Dan saya merasa lebih beruntung. Saya bisa membeli dan memiliki apa yang saya inginkan dengan berusaha lebih giat, karena saya tidak suka bergantung, saya perempuan mandiri. Terus meminta sebenarnya akan membuat harga diri menajdi berkurang, atau karena sudah tidak ada jalan lain selain meminta, terpaska mau tidak mau kita harus mengorbankan harga diri. Yah, bayangkan jika kita telah dibesarkan dengan susah payah, disekolahkan tinggi-tinggi, namun akhirnya kita tetap meminta, padahal semestinya kita yang harus memberi. Saya yakin, sebagian anak tidak lagi ingin meminta, tapi kadang kenyataan mengharuskan mereka tetap bergantung pada orang tua. Belakangan yah, saya tidak lagi iri, saya merasa iba pada mereka. Saya mendoakan anak-anak yang masih bergantung pada orang tua dapat segera berusaha lebih giat, berhenti untuk gengsi, tidak menilih-milih pekerjaan dan tentunya juga berdoa lebih banyak. Jangan sampai kebiasaan meminta membuat rasa tidak enak kita menjadi hilang, dan kita menjadi keenakan hanya dengan meminta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Catatan Kecil Untuk Diriku...

Dalam perjalanan hidup, terkadang kita terlalu banyak memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak akan terjadi. Pikiran-pikiran negatif, perasaan-perasaan yang tidak seharusnya. Pikiran dan perasaan itu lalu menumpuk, bagaikan benang kusut yang kita tidak pernah tahu, bagaimana dan kapan akan berakhir. Pada titik itu, kita dilanda depresi. Suatu hal yang sebenarnya ilusi yang kita ciptakan sendiri. Jika berada di titik itu, tariklah nafas. Terima keadaan, terima dirimu, dan selalu yakin bahwa Allah selalu ada, dimanapun dan bagaimanapu  kondisi kita. Berikan waktu untuk diri, mulaikah pikirkan hal-hal yang baik dan indah, tentang semua hal yang kita lewati, tentang semua rintangan yang telah kita hadapi. Singkirkan satu persatu kecemasan yang tidak semestinya. Mulailah membuat impian, pikirkan langkah-langkah kecil yang akan membuat semuanya menjadi lebih indah. Jika terdapat hambatan, yakinlah itu hanya ujian untuk membuatmu semakin kuat. Membuat cerita dalam perjalanan hidupmu ak

Merayakan Aksara dalam Dekapan Keindahan Banggai

Luwuk , saya telah lama mendengar nama kota ini, adalah ibukota kabupaten Banggai Sulawesi Tengah. Beberapa sanak saudara saya, merantau dan akhirnya menetap di sana, pun mertua saya pernah menetap beberapa tahun di salah satu kacamatan di Banggai . Setiap mereka pulang ke kampung halaman, oleh-oleh berupa ikan asin dan cumi kering menjadi makanan yang selalu kami tunggu, hal tersebut membuktikan bahwa potensi kekayaan bahari Banggai begitu melimpah. Hal ini tak mengherankan karena sebagaian besar wilayahnya merupakan lautan yaitu sekitar 20.309,68 km2 dengan garis pantai sepanjang 613,25 km2, tentu saja menyimpan kekayaan bahari yang berlimpah.   Tidak hanya itu wilayah daratanya dengan luas 9.672,70 km2, dengan keanekaragaman tipografi berupa pegunungan, perbukitan dan dataran randah. Tanahnya menyimpan kesuburan, berbagai buah-buahan dapat tumbuh subur ranum. Bulan kemarin saya bahkan mendapat kiriman buah naga dan salak yang sangat manis dari saudara di Luwuk .  Da

Cenning Rara

Di luar angin berhembus pelan, namun menipkan udara dingin hingga menembus sumsum tulang rusuk, masuk lebih dalam menghujam hati.  “Ibu, aku begitu rindu, sangat. Namun, apakah aku mampu untuk pulang? Ibu, bisakah aku mengatakan tidak. Haruskah aku kembali menghianatimu.  “Maaf Mak.” Uleng memendang bulan, air mata jatuh, menganak sungai. Hatinya tersandra dilema. Andi Cahaya Uleng, nama yang indah seindah artinya, cahaya bulan. Namun sayang, malam ini, untuk kesekian kalinya, hatinya dilanda prahara.  Yah, setiap kali rencana penghianatan menuntut dan berontak dibenaknya, bayangan cinta itu selalu hadir, membelai, menghangatkan, menenangkan. Bayangan cinta itu, yang tidak akan pernah pergi dari benaknya, bahkan nama yang indah itu juga pemberian cinta dari sang Ibu yang disapanya “Emmak”. Bayangan Emmak setia datang menemani, bahkan saat Emmak jauh. Aura cinta Emmak tak pernah pudar, bahkan semakin terasa. Angan-angan Uleng melambung jauh. Lagi, merasakan cinta tak bersyarat Emmak. Ya