Suami dan istri, perempuan dan laki-laki. Kita adalah mahluk berbeda yang disatukan dalam sebuah pernikahan. Lalu konflik demi konflik terjadi, drama demi drama bermunculan karena berbagai perbedaan tersebut. Dan yang akan membuat semuanya lebih buruk adalah kurangnya empati dan ilmu dalam diri kita.
Sebagai wanita, berbagai prasangka muncul dalam hati kita. Merasa pasangan tidak perhatian, merasa pasangan tidak peduli, bahkan yang lebih ekstrim merasa laki-laki adalah mahluk tanpa perasaan. Dengan mudahnya kita menjudge, padahal ilmu telah sampai pada kita bahwa laki-laki memiliki ekspresi yang berbeda dengan mereka. Yah, mereka bukan mahluk tanpa perasaan. Mereka hanya mahluk yang minim ekspresi.
Tidakkah kita sebagai perempuan iba dengan hal itu?
Mereka juga sedih ketika kita sedih, sayangnya mereka tidak bisa mengekspresikan rasa sedih dengan menangis, atau bahkan mereka cenderung menutupi rasa sedih yang mereka miliki, sehingga yang terpancar dari wajah mereka adalah ekspresi datar, ekspresi biasa saja.
Menyedihkan bukan.
Juah lebih menyedihkan menjadi mahluk yang sedih tapi tidak mampu mengekspresikannya, yah mereka sedih. Namun setelahnya mereka akan kembali di-judge sebagai mahluk tanpa perasaan. Bukankah mereka lebih menyedihkan dari kita?
Mereka sedih, tapi tak terlihat sedih, lalu dianggap tak punya perasaan. Sesungguhnya rasa sedih mereka akan menjadi berlipat. Sayangnya, biasanya ekspresi sedih yang berlipat itu akan muncul sebagai kemarahan. Dan lagi, mereka akan di judge sebagai lelaki pemarah.
Bagi saya memberikan empati akan sedikit mengangkat rasa sedih di hati saya, rasa marah yang mengendap akan sedikit menipis. Dan mungkin saya akan mencoba memaafkan lagi, bukankah menikah adalah tentang seberapa sering kita dapat memaafkan.
Komentar